THIRTY THREE

132 51 9
                                    

Mungkinkah kamu akan memberikanku kesempatan lagi?

***

Kania membuka koper dan memasukkan baju-baju miliknya. Ini hari terakhirnya berada di Bali. Tuntas sudah dua minggu liburannya yang penuh air mata dan perasaan kalut. Meskipun sekarang masih terasa hampa.

Gadis itu menarik koper menjauh dari area kamar. Ia harus segera check out hotel dan mengejar penerbangan dua jam lagi. Tepat di depan lift, ia melihat sosok Bastian tengah menunggu di sebuah sofa tak jauh dari sana.

Bastian yang semula memainkan ponsel langsung mengangkat wajahnya. Kania berdecak kesal dan berbalik arah, ia ingin mencari lift lain.

"Kania," Bastian dengan sigap langsung menghalangi jalan gadis itu. Kania mundur satu langkah, mendongak menatap Bastian. "Kania, aku mau kita perbaiki semuanya, Ni," ucap Bastian dengan wajah memelas. Ia berusaha meraih kedua tangan Kania, namun gadis itu menolak.

"Perbaiki apa, Bas? Kita udah selalu coba buat perbaiki semuanya. Tapi apa? Akhirnya tetap sama. Tolong, Bas, jauhin gue," Kania membalas perkataan Bastian dengan suara bergetar. Ia meneguk ludah dan menunduk.

"Aku nggak mau kita pisah, Kania. Aku nggak mau," Bastian berkata dengan penuh penekanan. Kania memejamkan kedua matanya sejenak, dadanya sesak kembali, semuanya sangat berat baginya.

"Aku janji, Ni. Aku janji nggak akan pergi lagi, aku janji nggak akan pernah menjauh lagi, dan aku nggak pernah punya hubungan sama perempuan manapun, Nia," jelas Bastian, napasnya tidak beraturan, sementara wajahnya menunjukkan ekspresi kelelahan.

Kania menatap Bastian tepat di kedua matanya. "Oh, ya? Perempuan yang di Aussie? Jangan pikir gue nggak tau, Bas. Lo ke sana di saat kita lagi ada masalah. Gue nggak bodoh, Bastian. Lo pasti ke sana buat nemuin cewek itu dan ... Dan, kalian berdua-"

"Stop, Kania. Kamu ngomong terlalu jauh. Itu sama sekali nggak terjadi. Dia itu temen aku waktu aku kecil," jelas Bastian, ia lagi-lagi mendekat ke arah Kania. Namun, Kania tetap menghindar.

Gadis itu tersenyum miring. "Temen? Temen apa yang berani ngangkat telepon temen laki-lakinya yang udah punya pacar?"

"Kania, kamu-"

"Udah, Bastian! Lo nggak bisa ngelak lagi. Semuanya udah jelas! Lo sama dia, udah jelas!"

Bastian menatap Kania tajam. Siapapun yang melihat tatapan Bastian pasti akan langsung menciut. "Berhenti ngomong sembarangan, Kania! Pikiran kamu terlalu busuk!" bentak laki-laki itu.

Satu pisau paling tajam di dunia tidak akan pernah bisa mengalahkan perihnya hasil ucapan Bastian barusan. Kania menggigit bawah bibirnya, kedua matanya memerah dan menampung bendungan air mata.

"Gue capek, Bas. Maaf," gadis itu menggelengkan kepalanya kemudian menarik koper menjauh dari Bastian. Lagi-lagi ia meninggalkan Bastian yang juga merasakan sesak serta penyesalan di dadanya.

"Bodoh, Bastian, bodoh!" laki-laki itu menarik rambutnya sendiri dan memukulnya. Ia sungguh tidak pernah menyangka kalimat tadi keluar dari mulutnya.

***

Ariaz mengisap vape yang baru ia beli dalam-dalam. Laki-laki itu kemudian mengembuskan asapnya melalui hidung. Sementara matanya tetap fokus menyetir memperhatikan jalanan di hadapannya.

Vaping selalu membuat tubuhnya lebih rileks dan ringan. Well, meskipun Kania membenci itu. Ariaz terus menekan pedal gas, ia harus sampai di bandara sebelum pukul dua belas siang untuk menjemput Kania. Walaupun gadis itu tidak memintanya.

Evermore [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang