Jika kemarahanmu sudah mereda, kembalilah, aku tetap ada di sini
***
Belasan hari telah Kania lewati, gadis itu belum benar-benar pulih dari rasa sakit dalam hatinya. Terkadang, di malam hari ia akan menangis setiap mengingat nama Bastian. Terkadang, ia bisa tersenyum mengingat kebersamaannya dengan Bastian.
Ovie mengaduk mie ayam yang baru ia pesan. Di depannya, Kania menyeruput teh hangat yang tinggal setengah. Gadis itu juga sibuk men-scroll foto-foto tas di layar ponselnya.
"Lo lagi lihatin apaan sih?" tanya Ovie kesal, ia daritadi didiamkan seolah dirinya hanya tisu bekas pakai di sana. Kania mendengus kesal dan menyodorkan ponselnya.
"See? Ini tas limited edition yang gue mau. Udah sold out! Oh my God!" Kania menepuk jidatnya sambil memutar bola mata. Sementara Ovie mengangkat sebelah alis. "Tas lo udah banyak," jawabnya.
"Eh, temenin gue ke tempat basketnya Ryan yuk," ajak Ovie, ia mengeluarkan dompet dari dalam tas untuk membayar pesanannya. Kania berpikir panjang sambil menunggu Ovie selesai melakukan pembayaran.
"Yuk?" Ovie mendesaknya. Kania menatap Ovie, sahabatnya itu sudah banyak membantu dan menemaninya selama ini. Tidak mungkin ia menolak ajakannya hanya karena alasan 'males ketemu Bastian'.
"Iya deh," jawab Kania sambil memakai tasnya, ia bangkit dari duduk. Sepanjang perjalanan menuju tempat basket, mereka hanya diam. Kania fokus menyetir dan Ovie fokus melihat keluar jendela mobil.
Sebetulnya sudah lama ia tidak membawa mobil karena biasanya Bastian yang menyetir untuknya. Kania menghela napas, rasanya masih banyak bekas kenangan itu di kepalanya.
Sepuluh menit, mereka sampai. Baru saja parkir, Kania sudah bisa melihat Bastian yang juga baru turun dari mobil dan langsung menatap Kania. Kania buru-buru mengunci pintu mobil dan bergegas pergi.
"Kania," Bastian memanggil gadis itu. Namun, Kania pura-pura tidak mendengar, gadis itu terus melangkah menjauh.
"Kania, wait," Bastian berhasil menghalangi jalan Kania. Laki-laki itu merentangkan kedua tangannya supaya gadis di hadapannya tidak bisa lewat.
"Apa lagi sih, Bas?" tanya Kania pusing, ia memijat keningnya yang berkerut. Bastian menggelengkan kepala.
"Aku tau kamu marah banget sama aku. Tapi, aku akan tetap nunggu, Ni," jelas Bastian. Kania menatap lantai yang kotor oleh bekas alas sepatu.
"Aku juga mau ngingetin kamu satu hal," lanjut Bastian. Kania masih menunduk, namun Bastian mengulurkan dua jari tangan kanan dan mengangkat dagu Kania agar menatapnya. "Ovie masih di dalam mobil. Kamu ngunciin dia di dalam," ucapnya.
Kania tersentak, ia langsung menoleh ke belakang dan ke samping. Benar, tidak ada Ovie di sana. Gadis itu terlalu terburu-buru hingga meninggalkan Ovie. Ia berlari kembali menuju mobil dan membuat bibir Bastian mengulum senyum hangat. Jujur, ia rindu melihat tingkah Kania yang lucu baginya.
"Ovie! Lo nggak apa-apa, kan?!" Kania bergegas membuka kunci mobil dan membukakan pintu untuk Ovie. Ovie menggeram marah dan melotot menatap Kania.
"Lo tuh tega, ya. Bisa-bisanya gue ditinggal! Woy, gue tau lo sekarang jomblo, Buuu, ke mana-mana selalu sendiri. Tapi, nggak gini dong. Ngenes amat saking jarangnya berdua sampai lupa lo pergi bareng gue!" Ovie langsung mengoceh sebal dan membuat telinga Kania berdengung.
"Iya, sorry."
***
Kania tidak henti-hentinya memperhatikan Bastian dari jauh. Laki-laki itu sudah menang berkali-kali dari Ryan. Senyumnya yang bahagia serta tawanya yang membuat Ryan cemberut berhasil menciptakan senyuman di wajah Kania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...