Kita saling takut akan kehilangan. Mengapa tidak mencoba menjalin ikatan?
***
"Lo harus cepet ambil langkah, Kania. Lo nggak bisa gantungin Bastian terus," Ovie telah menceramahinya sejak dua puluh menit yang lalu. Kini mereka berdua tengah mengerjakan tugas kuliah di ruang tamu rumah Kania.
Kania hanya menggaruk kepalanya sambil mengangguk-angguk mengiyakan. Ia terus fokus kepada laptopnya. "Kania, lo jangan main-main sama urusan ini," Ovie menarik tangan kanan Kania gemas.
"Gue juga nggak main-main sama kuliah gue," balas Kania yang membuat Ovie terkejut. "Akhirnya lo serius kuliah juga," ucap Ovie dengan kedua mata berbinar. Ovie mendekat ke arah Kania, melihat tugas sahabatnya itu di laptop.
"Tapi bohong," balas Kania, ia kemudian menggeser laptop agar Ovie bisa melihat layar laptop miliknya. Layar tersebut menampilkan film terbaru yang belum sempat Kania tonton.
Ovie menggerakkan tangan kanannya untuk menjitak kepala Kania. "Kania, sorry nih, ya. Gue mau ngasih nasihat kehidupan buat lo," ucap Ovie. "Kayak nenek gue aja lo, suka kasih nasihat kehidupan," balas Kania yang disambut dengusan kesal Ovie.
"Dengerin gue. Lo itu harus rajin belajar karena lo punya masa depan. Emangnya lo bakal ngejamin lo bisa jadi orang sukses tanpa usaha? Atau, tiba-tiba lo dinikahin sama cowok kaya? Nggak, kan?" tanya Ovie mengomel. Kania terlihat berpikir.
"Gue pilih opsi kedua deh," jawab gadis itu sambil menunjukkan cengirannya. Ovie gemas dengan Kania, ia bahkan mengacak-acak puncak kepala sahabatnya itu.
"Iya, Vie, iya. Lo tenang aja deh, walaupun gue bukan anak rajin, tapi gue pasti bisa meraih masa depan gue," balas Kania sambil menjauh dari tangan Ovie yang masih gemas dengannya.
"Gimana caranya? Lo ngambil langkah urusan Bastian aja nggak bisa. Gimana mau nentuin masa depan, Kaniaaa!" Ovie gregetan dibuatnya. Kania terkekeh geli dan mengangguk-angguk membenarkan.
"Ya, gue pasti bisa pokoknya," jawab Kania sambil mengangkat bahu. Ia kembali fokus kepada layar laptop di hadapannya. Ovie speechless dengan perilaku Kania hari itu. Ia hanya mengalah dan menggelengkan kepala tak percaya bahwa orang seajaib Kania itu nyata.
***
"Harold!" panggil seorang pria yang sedang melepas jas hitamnya di balik pintu rumah. Harold yang baru saja pulang dari kampus langsung menoleh sedikit terkejut. Ia kemudian tersenyum sambil menyalami sang Papa.
Pak Agustinus menarik napas dalam-dalam. "Kamu tau kenapa Bastian bisa babak-belur begitu?" tanya pria itu dengan tatapan tajam. Harold terdiam membeku.
"Kemarin Bastian pulang dari kampus udah biru-biru mukanya. Itu ulah siapa?" pertanyaan Pak Agustinus sangat membuat Harold kesal sekaligus menciut.
"JAWAB!" suara Pak Agustinus menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Harold memejamkan kedua mata sejenak. Ia kemudian membukanya kembali dan maju selangkah lebih dekat dengan sang Papa.
"Ulah Harold, Pa. Harold yang mukulin Bastian. Itu semua karena Bastian sendiri yang cari masalah," jelas Harold. Pak Agustinus menghela napas panjang.
"Masalah nggak akan pernah selesai dengan kekerasan. Papa tanya sama kamu, apa Bastian balas memukul kamu kemarin?"
Harold terdiam kembali. Ia mengepalkan kedua tangannya sambil menatap lantai dengan amarah.
"Nggak, kan? Bastian nggak membalas perbuatan kamu! Seharusnya kamu bisa bersikap dewasa sedikit. Jangan apa-apa pakai kekerasan! Pakai otak kamu!" Pak Agustinus menunjuk kepala Harold. Kemudian, pria itu meninggalkan Harold sendirian di sana.
***
Bastian memegang batu es yang baru saja ia keluarkan dari kulkas dan ia bungkus dengan kain. Bagian ujung bibir kanan dan kiri, pelipis kanan, dan pipi kirinya masih sering berdenyut hebat. Meskipun sudah lima hari, entah mengapa masih tetap sakit.
Suara bel rumahnya terdengar, Bastian bergegas membuka pintu rumahnya. Ia melongo kaget melihat Kania datang membawa banyak barang di tangan kanan dan kirinya.
"Lo ngapain?" Bastian membuka pintu lebih lebar, membiarkan Kania masuk terlebih dahulu. "Gue bawa bahan-bahan masakan. Lo pasti belum makan. Sama sih gue juga. So, gue bakal masak di sini," jelas Kania dengan wajah berapi-api seolah akan memenangkan pertandingan.
"Mumpung Pak Agustinus lagi dinas di Surabaya," lanjut Kania disertai senyum jailnya. Bastian tersenyum sambil menepuk jidat. Kania selalu membawa banyak kejutan untuknya, termasuk di hari ini.
Kania mulai meletakkan bahan-bahan masakan di meja dapur. Bastian mengekor di belakangnya. Kemudian ia duduk di salah satu kursi bagian kiri.
"Lo mau masak apa?" tanya Bastian sambil mengangkat alis. "Sstt ... Udah lo diem aja. Jangan banyak nanya," jawab Kania, ia kini beralih melangkah ke tempat cucian piring. Bastian tertawa pelan dan bangkit dari duduknya, ia memilih untuk mengompres ujung bibirnya kembali di ruang tamu.
Ruang tamu dan dapur rumahnya hanya disekat oleh kaca sehingga Bastian bisa melihat Kania yang sedang bersenandung sambil memasak. Gadis itu cantik dan selalu cantik di mata Bastian. Senyuman Bastian kembali terbit, matanya tidak lepas menatap Kania.
Kania menoleh ke arah Bastian, ia memutar bola mata. "Kompres yang bener. Jangan cuma asal tempel aja," komentar Kania sambil memotong wortel. Bastian tidak bisa untuk tidak tertawa.
"Lo mirip ibu-ibu lagi marahin anaknya," ledek Bastian. Kania cemberut mendengar hal tersebut. Ia kini menyisihkan separuh wortel ke dalam panci.
"Lo ... Mirip banget sama almarhumah ibu gue," ucap Bastian lagi dengan sangat pelan. "Bawelnya, tingkahnya, dan ... Cantiknya," lanjut laki-laki itu diakhiri dengan senyum yang sendu. Kania menghentikan aktivitas memasaknya dan menoleh.
"Kalau gue boleh milih, gue pengen banget tukar posisi sama Baskara sekarang," ucap Bastian. "Bastian, stop. Lo nggak boleh ngomong begitu," Kania langsung menghampiri Bastian dan mengusap punggungnya.
"Baskara sekarang bisa main di surga sama ibu dan ayah gue. Gue mau tukar posisi sama dia," lanjut Bastian yang membuat Kania menahan tangisannya.
"Ada gue. Nanti gue sama siapa kalau lo nggak ada?" pertanyaan itu membuat Bastian termenung, ia menoleh perlahan menatap wajah Kania. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca.
"Gue nggak mau kehilangan lo. Gue mau lo selalu ada buat gue, begitu juga sebaliknya. So, gue nggak mau lo ngomong kayak gitu," jelas Kania dengan suara serak.
"Karena gue juga sayang sama lo, Bas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...