TWENTY

172 77 39
                                    

Ketika keraguan mulai muncul, apakah aku harus mundur?

***

Bastian membuka pintu mobilnya dan segera masuk. Bajunya basah kuyup dan rambutnya basah. Buku-buku yang ia bawa juga basah. Sementara Kania telah menunggunya di jok sebelah.

"Lagian sih, pakai acara dompet ketinggalan di toilet kampus. Untung masih ada dompetnya," Kania mengomel sambil membantu menyimpan buku-buku yang basah di jok belakang. Kemudian, ia melepas kardigan yang menyelimuti tubuhnya.

"Keringin rambut lo," lanjut Kania sambil memberikan kardigan biru miliknya. Bastian menoleh, bekas air hujan menetes dari ujung rambut ke kening dan lehernya. Kancing kemeja hijaunya telah ia buka. Kaos hitam polos di dalamnya pun ikut basah.

"Nggak usah, ntar lo kedinginan," balas Bastian dengan napas yang masih terengah-engah karena berlari. Kania berdecak dan kembali memakai kardigannya. "Iya sih, gue kedinginan," ucapnya dengan cengiran.

Bastian tersenyum simpul mendengar jawaban tersebut. Laki-laki itu mulai mengemudikan mobil keluar area kampus. "Makan di rumah gue aja, ya. Lo basah kuyup begitu nggak mungkin makan di luar," ucap Kania sambil memakai seatbelt.

"Terus gue ganti baju pakai daster yang ada di rumah lo?" tanya Bastian sambil mengangkat alis dan membuat Kania tertawa. "Gue punya baju ganti kok. Bukan daster," balas gadis itu. Bastian tidak menanggapi, entah mengapa laki-laki itu agak aneh hari ini. Selama perjalanan, mereka hanya diam dan ini tidak biasanya terjadi.

Kania menatap rintik-rintik hujan yang menghiasi jendela mobil. Ia memeluk dirinya sendiri sambil mengusap lengannya perlahan. Hawa dingin ternyata sangat menusuk kulit, di sebelahnya, Bastian terus fokus menyetir tanpa berkata apa-apa lagi. Hal itu menjadi sesuatu yang mengganjal bagi diri Kania.

***

Flashback on

Kania melangkah cepat menuju kelas, ia sudah hampir terlambat mengikuti kelas Pak Agustinus. Gadis itu menyipitkan kedua matanya sambil melihat ke arah pintu kelas. Harold tengah menatap ke arahnya dengan bibir tersenyum.

Kania sampai di hadapan Harold, ia menatap laki-laki itu dengan tatapan datar. "Hey, sorry kalau gue ganggu," ucap Harold pelan, ia mengetahui bahwa Kania pasti benci kepadanya. Kania mengangkat sebelah alis sebagai tanggapan.

"Hhm ... Gue mau minta maaf buat kejadian waktu itu. Gue yang jail mainin handphone Bastian," jelas Harold. "Lo boleh marah sama gue," lanjutnya lagi. Kania melipat kedua tangan di depan dada.

"Gue nggak marah. Gue cuma minta tolong banget sama lo untuk berhenti bersikap kekanakkan," jawab Kania, ia kemudian menghela napas panjang ketika menatap wajah bersalah Harold.

Kania melangkah pergi dari hadapan Harold. "Gue boleh nanya sesuatu ke lo?" tanya Harold, ia menghalangi langkah Kania sebelum menjauh. Kania menatap Harold, menunggu pertanyaan yang dimaksud.

"Lo ... Suka sama Bastian?" pertanyaan itu sontak membuat Kania terdiam. Sementara Harold menunggu jawaban darinya. "Gue belum bisa mastiin perasaan gue ke dia," jawab Kania cepat.

"Karena Baskara?" tanya Harold lagi yang kembali membuat Kania terdiam cukup lama. Kania mengangkat wajah dan mengangguk sekilas. Gadis itu segera pergi dari hadapan Harold dan memasuki kelasnya yang sebentar lagi mulai.

Sementara itu Bastian yang hendak menunggu Kania pulang mendengar dari kursi tak jauh dari sana. Entah mengapa ia menjadi ikut ragu dengan perasaannya sendiri setelah mendengar penuturan Kania barusan.

Flashback off

***

Mobil Bastian terparkir rapi di garasi rumah Kania, mobil milik orang tua Kania sedang dibawa dinas ke luar kota. Jadi, Bastian bisa bebas parkir di sana. Kania melangkah menuju gerbang untuk menutupnya.

"Gue aja," Bastian menyingkirkan tangan Kania yang sudah siap menarik gerbang. Gadis itu mundur dan memilih masuk duluan ke dalam rumahnya. Bastian menarik gerbang hingga tertutup sempurna.

Asisten rumah tangga Kania langsung menyambut dan menyiapkan makanan di ruang makan.

"Bas, lo mau ganti baju dulu?" tanya Kania. Bastian mengangkat wajah dari layar ponsel dan mengangguk singkat. Kania yang hendak mengambil baju ganti akhirnya memilih untuk duduk di sofa sebelah Bastian.

"Bas, lo kenapa sih?" tanya Kania yang memasang wajah bingung. "Apanya?" Bastian balik bertanya sambil mengangkat sebelah alis.

"Ya, itu. Lo kenapa? Kok kayak orang bad mood?" Kania berusaha memperjelas pertanyaannya. Bastian memilih untuk kembali fokus pada ponselnya. "Gue cuma lagi butuh waktu aja," balas laki-laki itu tanpa melihat ke arah Kania.

"For what?" Kania memiringkan kepala. Bastian menghela napas dan memasukkan ponsel ke dalam saku celana.

"Lo bilang lo masih selalu dibayangi sama Baskara, kan? Dan, ya ... Gue juga tau kalau lo masih ragu sama perasaan lo ke gue."

"I-iya, terus?"

"Gue pikir ... Gue juga butuh waktu buat berpikir ulang soal perasaan gue ke lo, Ni," lanjut Bastian. Jujur, ia tengah kalut sekarang, pikirannya sangat bercabang, hatinya juga gundah. Mendengar itu Kania menggigit bibirnya.

"Maksud lo ... Lo ragu?" pertanyaan Kania langsung dibalas anggukan kepala oleh Bastian. "Sorry, gue harus ngomong kayak gitu," jawab Bastian pelan, ia menatap wajah Kania yang manis.

"Kenapa lo tiba-tiba ragu, Bas?"

"Kalau boleh gue balikin pertanyaannya, gue mau nanya sama lo. Kenapa lo ragu sama gue?" pertanyaan Bastian berhasil membuat Kania terdiam, suara hujan di luar sana nampaknya semakin menciptakan melodi kebimbangan di hati. Bahkan, hingga tiga menit ke depan Kania tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut.

"Beberapa hari ke depan gue harus fokus sama penyelesaian jurnal gue. Sorry juga kalau gue nggak bisa selalu ada dulu buat lo, Nia."

Evermore [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang