TWENTY TWO

149 63 17
                                    

Indah, itulah yang kulihat ketika kutatap parasmu

***

"Kania, makannya dihabisin dong," Mama membuyarkan lamunan Kania di meja makan malam itu. Kania langsung menegakkan posisi duduknya dan meraih sendok di piring. Mama menggelengkan kepala melihat kelakuan sang anak.

Kania segera menghabiskan makanannya di piring kemudian beranjak dari sana tanpa sepatah kata pun. Gadis itu membuka pintu kamar kemudian menjatuhkan diri di atas kasur. Pikirannya tidak bisa berhenti menyebutkan nama Bastian.

Hari ini adalah hari kedelapan ia dan Bastian tidak berkomunikasi. Rasanya sangat hambar dan menyakitkan. Kania meraih ponsel dan melihat nomor ponsel Bastian yang ia block. Kania tahu ia sangat kekanakkan, tetapi pikirannya memang sekacau itu.

Ia ingat bagaimana Ovie dan Ryan menyuruhnya menyelesaikan masalah dengan dewasa. Namun, semuanya tampak seperti angin lalu baginya. Kania melihat kembali chat-chat lamanya bersama Bastian. Diam-diam ia rindu dengan Bastian yang selalu menjadikannya prioritas, bahkan laki-laki itu selalu ada untuknya.

Kania memejamkan kedua mata dengan tangan kanan menggenggam ponsel kuat-kuat. Kalimat-kalimat Ovie terus membayangi pikirannya.

"Lo nggak boleh bersikap begitu, Ni!"

"Kania, Bastian itu kurang apa lagi sih?"

"Kania, buka blockir-nya!"

"Lo bisa nyesel kalau masalah ini nggak diselesain baik-baik!"

"Argh!" Kania mengerang kesal sambil membenamkan kepalanya di bawah bantal. Semuanya sangat memusingkan baginya.

Gadis itu bangkit dari tidurnya dan teringat tugas kuliah yang belum terselesaikan. Entah mengapa ia sangat random. Kania membuka layar laptop dan menyalakan printer.

"Eh, kok nggak bisa sih?" Kania berbisik, ia mengutak-atik printer yang tidak mau menyala. Bahkan, hingga lima belas menit printer tersebut tetap mati, ditambah dengan tintanya yang habis.

Dengan malas, Kania meraih tasnya dan memakai kardigan. Ia harus mencari tukang fotokopi terdekat.

Kania menutup pintu gerbang sambil menggerutu. Suasana malam itu sangat dingin, ia memeluk tubuhnya sendiri. Letak tukang fotokopi dengan rumahnya tidak begitu jauh, ia hanya perlu berjalan kaki keluar komplek perumahan dan menyeberangi jalan.

Namun, Kania menghentikan langkahnya ketika melihat ke depan sana. Terdapat banyak anak tongkrongan di warung kecil dekat tukang fotokopi. Ia malas harus berurusan dengan anak-anak jalanan tersebut. Sudah beberapa kali ia digoda dan itu sangat mengganggu.

Namun, aneh sekali malam itu, ketika Kania melewati mereka, tidak satu pun yang menyapa atau bahkan melirik Kania.

"Saya mau print ini, ya," Kania menyerahkan flashdisc miliknya. Tepat setelah flashdisc tersebut diterima oleh pria tua di hadapannya, Kania terjatuh ke sisi jalan karena sebuah pukulan di kepala.

"Awh," Kania meringis lemah, kepalanya terasa seperti akan pecah. Hidungnya pun mengeluarkan darah saking kencangnya pukulan di kepala.

Belum sempat gadis itu berdiri, para laki-laki telah mengelilinya dan membekap mulut serta menutup matanya dengan kain hitam.

"Lepasin! LEPAS!" Kania berontak, berusaha lepas dari cengkeraman tangan laki-laki di sekitarnya.

"TOLONG!" Kania berusaha berteriak dengan suara amat kecil, tubuhnya seolah tidak bertulang, lemas.

Evermore [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang