Mewujudkan masa depan denganmu? Aku mampu
***
"Kania, ayo dimakan dulu dong," Mama mendekatkan ujung sendok ke bibir sang anak. Sementara Kania menggeleng pelan dan menjauhkan wajahnya dari sendok berisi bubur tersebut.
Mama menghela napas, menatap semangkuk bubur yang belum dimakan sama sekali. Lantas, matanya beralih menatap Kania yang sibuk melempar pandangan ke luar jendela rumah sakit.
Di luar sana, hujan turun dengan derasnya, sesekali suara gemuruh menghiasi disertai dengan kilatan cahaya. Kania mengusap matanya yang mulai berair. Sudah tiga hari ia dirawat di rumah sakit, tidak satu hari pun Bastian mendatanginya atau sekadar mengirim pesan untuknya.
Setiap hari yang ia lihat hanya Mama, Papa, Ovie, Ryan, serta Ariaz. Mereka selalu datang bergantian, tetapi rasanya tetap hampa bagi Kania. Ia butuh Bastian di sana. Namun, Bastian seolah tidak peduli padanya.
"Kania, Mama harus berangkat kerja. Papa udah nunggu di bawah," suara Mama memecahkan lamunan Kania. Gadis itu menoleh dan memaksakan diri untuk tersenyum.
"Iya, hati-hati, Ma," ucapnya pelan. Mama mengecup kening Kania singkat dan memakai tas di pundak kanannya. "Makan, ya," wanita itu menunjuk mangkuk bubur di atas nakas. Kania hanya mengangguk sebagai jawaban.
Mama menutup pintu kamar rawat perlahan dan pergi. Mata Kania menyipit ketika melihat bunga di dalam vas bening dekat pintu masuk itu berganti lagi.
Selama ia berada di kamar rawat tersebut, bunga di dalam vas selalu berganti. Hari pertama, lavender. Hari kedua, anggrek putih. Hari ini, mawar merah yang terlihat segar dan baru.
Gadis itu menyibakkan selimut putih yang menutupi tubuhnya dan meraih infus. Ia beringsut turun dari ranjang. Bunga mawar merahnya sangat indah, lengkap dengan duri dan batang hijau di bawahnya. Cantik dan tegas.
Kania mengambil sekuntum bunga tersebut dan tersenyum. Wangi dan bersih, tidak lupa beberapa tetesan air di kelopaknya yang menambah kesan tersendiri.
"Suka, ya?" seseorang mengagetkan Kania hingga gadis itu terhuyung. Untung saja orang itu berhasil menangkap tubuh Kania dan memastikan selang infusnya aman.
Kania membenarkan posisi berdirinya dan menatap laki-laki yang berani masuk ke kamar rawatnya tanpa izin. Wajah menyebalkan Ryan yang pertama kali Kania lihat.
"Lo tuh nggak sopan tau nggak?" Kania berdecak kesal. Ia menyimpan bunga mawar kembali ke tempatnya. Sementara Ryan terkekeh puas.
"Pasti lo ngiranya yang dateng tuh Bastian, kan?" tanya Ryan yang semakin membuat Kania bad mood. Kania memilih melangkah kembali menuju ranjangnya. Ryan mengikuti dari belakang.
"Bastian lagi ke Australia," ucapan Ryan mampu menghentikan langkah kaki Kania. Gadis itu berbalik dan melotot tak percaya. Ryan menghampirinya dan menyeret Kania untuk duduk terlebih dahulu di atas ranjang.
"E-eh! Ryaann! Infus gue goyang-goyang! Ngapain sih lo narik-narik gue, hah? Gue laporin Ovie lo!" Kania berusaha melepas tarikan tangan Ryan. Ia akhirnya duduk di atas ranjang.
"Nah, duduk dulu."
Ryan kini kembali melangkah menuju sofa dekat ranjang. "Dengerin gue, Bastian ke Australia buat ngurus rumah bokapnya yang ada di sana," cerita Ryan. Kania menunduk dan mengayunkan kakinya.
"Kenapa dia nggak ngabarin gue?" tanya gadis itu dengan suara lirih. Ryan tersenyum miring. "Miris gue ngelihat hubungan lo berdua," ucapnya.
"Maksud lo?" Kania mengangkat wajah, menatap Ryan di seberangnya lekat-lekat. "Bastian selalu dateng ke sini. Setiap hari," ucapan Ryan membuat Kania semakin terkejut dan bingung.
Ryan tertawa kecil melihat ekspresi Kania yang tak menentu. "Oke, gue jelasin. Lo lihat bunga di dalam vas selalu berubah, itu Bastian yang setiap hari bawa bunga. Lo selalu disuruh tidur jam delapan malam sama perawat dan Bastian dateng ngunjungin lo jam sembilan malam setiap hari. Dia nego terus sama perawat supaya bisa lihat wajah lo walaupun cuma sebentar," jelas Ryan.
"Dia sengaja dateng setelah lo tidur, itu semua dia lakuin supaya lo punya ruang buat diri lo sendiri," lanjut Ryan. "Tapi, hari ini dia ke Australia, gue nggak tau pulangnya kapan," Ryan mengangkat bahunya. Kemudian melirik arloji yang melingkar di tangan kiri.
"Yaelah, cewek gue ke mana sih? Kok belum dateng juga," gumamnya kesal. Kania tersenyum kesal mendengar gumaman tersebut. Namun, pikirannya sekarang penuh dengan Bastian.
***
"Wow, look! Who's coming? Yeah, Bastian. Long time no see, how's your life, huh?" suara seseorang membuat Bastian menoleh dan mengalihkan pandangan dari passport di tangannya.
"Hey, Harris! Everything's good. It's been a long time I'm not see you," Bastian menepuk pundak kanan Harris, teman semasa kecilnya yang sudah lama tidak berjumpa.
"Yeah, Bro. So, you're on vacation?" Harris membantu menarik koper Bastian melangkah keluar bandara. Bastian terlihat berpikir kemudian mengangkat bahu.
"I don't think so. I'm just want to see my father's home here and make a little renovation, maybe," jawab laki-laki itu sambil menggaruk kepalanya.
Wajah Harris langsung cerah. "Wow, wait! It's mean that you'll stay here again?" tanya Harris dengan mata mengerjap-ngerjap bahagia. Bastian semakin bingung menjawabnya.
"Uhm ... Y-yes I think. Uhm, with my wife. If she want to live here," ucapan Bastian semakin membuat ekspresi wajah Harris tidak menentu.
"So, you're get married? Where? When? With who? Wait, you already send me the invitation?" suara Harris membuat orang-orang di sekitarnya menoleh.
"Ssstt ... No, no. Just stay calm and don't ask me all about that again," Bastian menepuk kepalanya sendiri berkali-kali. Bisa-bisanya ia berkata seperti tadi sambil membayangkan masa depan dirinya dan Kania sedang menikmati coklat panas di dalam kamar rumahnya pada penghujung hari. Ya, suatu hari nanti di Australia.
Bastian sekali lagi menepuk kepalanya berusaha menghentikan khayalan itu. Sementara Harris masih kebingungan dengan informasi dari sahabatnya yang simpang-siur.
***
Kania :
Bas, you okay?Kamu kok ngilang sih?
Kamu ke Aussie, ya?
Take care, ya
Maaf, waktu itu aku nyari ribut, hehe
Kabarin, ya, Bas
Pesan-pesan tersebut masih tergantung dalam kolom chat. Kania menggigit bawah bibir, ingin sekali rasanya menekan tombol send dan menunggu balasan Bastian. Namun, egonya berkata lain, ia berada dalam pusaran kebimbangan.
Kania membaca ulang hasil ketikannya untuk Bastian. Lalu, gadis itu menghapus semuanya dan melempar ponsel ke atas sofa.
Rasanya masih ada yang mengganjal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...