Apakah kesibukanmu bisa menyatukan kita?
***
Kania berada dalam pusaran kecemasan sekarang. Ia tidak bisa memastikan apakah Bastian yang kini tengah menyetir itu dalam keadaan marah atau tidak. Namun, jika dilihat dari wajahnya yang memerah dan alisnya yang bertaut, itu sudah lebih dari menyakinkan bahwa Bastian masih emosi.
"Bas," Kania membuka percakapan setelah hampir sepuluh menit hening. Ia menyentuh pundak kanan Bastian yang tegap. Bastian tidak menoleh sama sekali, ia hanya fokus menyetir.
"Kamu beneran marah?" pertanyaan bodoh itu keluar begitu saja dari mulut Kania. "Menurut kamu?" Bastian angkat bicara. Kini ia mengangkat kedua alis kesal.
"Habisnya kamu sih, sibuk terus," ucap Kania pelan. Ia menurunkan tangan dari pundak Bastian. "Kalau aku sibuk, terus kamu bisa enak-enakan sama cowok lain, gitu?" tanya Bastian, ia bahkan menghentikan laju mobil di pelataran parkir sebuah toko.
Laki-laki itu memutar badan ke arah kiri, menatap Kania tepat di kedua matanya. "Aku nggak suka kalau kamu deket sama Ariaz dan aku udah pernah bilang sama kamu sebelumnya," lanjut Bastian. Kania melepas seatbelt dan ikut memutar tubuh untuk menatap Bastian.
"Aku juga nggak suka kalau kamu terlalu sibuk sampai nggak ada waktu. Kamu tuh berubah tau nggak sih? Harusnya kamu sadar diri," balas Kania tidak mau kalah. Bastian mengusap wajahnya, masih berusaha untuk bersabar.
"Aku sibuk karena ada tujuannya. Aku mau cepet wisuda. Masa kamu nggak ngerti? Harusnya kamu ngerti, bukan malah keseringan main sama Ariaz," jawab Bastian. "Udah berapa kali kamu hangout sama dia?" lanjut Bastian dengan wajahnya datar.
"Harus banget kamu tau? Bukannya kamu nggak pernah ada waktu buat aku? Ngapain kamu peduli sama hal sepele kayak gitu?" balas Kania, ia tersenyum miring.
"Jadi, selama ini kamu sering keluar sama dia tanpa sepengetahuan aku? Iya?" desak Bastian, ia mengatur napasnya yang memburu. "Mau kamu tuh apa sih?" tanyanya sambil menggelengkan kepala.
"Pokoknya aku nggak mau lihat kamu jalan sama Ariaz lagi, titik," Bastian kembali menatap ke depan dan menyalakan mesin mobil. Ia mencengkeram stir mobil kuat-kuat. Sementara Kania memilih untuk diam.
Kania hanya membuang napas panjangnya sambil menatap keluar jendela. "Capek ribut terus," gumamnya yang masih bisa didengar jelas oleh Bastian.
Bastian tersenyum miring. "Siapa yang mulai?" tanya laki-laki itu. Kania memilih untuk diam daripada memunculkan perkara baru.
***
"Kemarin Bastian mergokin Kania lagi lunch sama Ariaz," cerita Ovie sambil memutar pulpen di ujung jari. Di hadapannya, Ryan menguap lebar sambil mengangguk-angguk. "So, what?" tanyanya.
Ovie berdecak sebal dan fokus pada layar laptop. "Kalau nggak niat ngajarin aku, ya, nggak usah," balasnya kesal. Ryan tertawa mendengar itu.
"Aku niat kok. Marah-marah terus deh. Sini aku lihat makalah kamu," Ryan menarik laptop Ovie dan membacanya dengan fokus. Sesekali tangannya menekan keyboard mengoreksi beberapa kesalahan di sana.
"By the way, kamu kenal Ariaz dari mana?" tanya Ovie sambil menunggu makalahnya dikoreksi.
"Dia itu anaknya temen Mamaku. Kebetulan dia baru balik ke Jakarta setelah lama di Jogja. Dia nggak kuliah, lebih milih lanjutin bisnis Papanya di Jakarta. Tapi, baru-baru ini dia kepikiran buat kuliah dulu. Jadi, aku disuruh antar dia lihat-lihat kampus ini," jawab Ryan sambil terus membaca tulisan di layar laptop.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomantizmPercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...