THIRTY EIGHT

212 75 41
                                        

Bagiku, hari terbaik adalah ketika melihatmu tersenyum karena aku

***

Kania terbangun ketika merasakan sentuhan di kepalanya. Ia mengucek mata sambil meregangkan tubuh. Sinar mentari langsung menerpa wajahnya membuat kedua mata gadis itu menyipit.

"Muka lo jelek juga kalau baru bangun tidur," suara seseorang membuat Kania terperanjat kemudian menoleh. Wajahnya langsung tersenyum bahagia melihat Bastian tengah menatapnya dengan tatapan jail.

"Bastian, lo udah sadar! Gue seneng banget, Bas!" Kania memekik girang. Ia langsung memeluk Bastian erat.

"Aduh, Kania! Luka gue!" Bastian mengaduh cukup kencang, Kania yang baru ingat akan luka Bastian langsung mengangkat tubuhnya. "Sorry, sorry."

"Nanti aja pelukannya kalau luka gue udah mendingan," ucap Bastian dengan sedikit tawanya. Kania mengangguk mengiyakan, ia membantu Bastian yang hendak duduk.

"Ini bukan mimpi, kan, Bas?" tanya gadis itu sambil mencubit pipinya sendiri berkali-kali. "Lo beneran udah siuman, kan?" lanjutnya.

Bastian mengangkat sebelah alis. "Emang lo maunya gue gimana? Udah mati gitu?" tanya Bastian yang membuat Kania gregetan. "Bukan gitu!" balas Kania kesal yang membuat Bastian terkekeh.

"Thanks, ya, Nia," Bastian tersenyum ke arah gadis itu. "Harusnya gue yang bilang makasih, Bas. Lo kayak gini karena gue, karena lindungin gue. Mungkin gue bisa mati semalam kalau nggak ada lo," balas Kania dengan memasang wajah merasa bersalah.

Bastian mengangkat tangan kanannya dan mengusap pundak Kania perlahan. "I'm okay. Kalau boleh 'ngedangdut', gue mau bilang kalau gue rela mati demi lo," jawab Bastian yang diakhiri cengiran menyebalkan.

"Apaan sih, alay tau nggak?" Kania melipat kedua tangan di depan dada, namun bibirnya mengulum senyum tipis.

"Tapi, lo tuh udah gila, ya! Pikiran lo tuh di mana sih? Semalam itu bahaya banget, Bas. Lo bisa, kan, nahan tangan Ariaz kek, mukul Ariaz kek, bukan malah jadiin diri lo tameng. Mikir dong!" Kania langsung mengomel. Wajahnya sangat emosi, berbeda dengan sebelumnya yang memasang ekspresi mellow.

Bastian tertawa pelan, selalu menggemaskan melihat Kania marah. Tidak ada seram-seramnya sama sekali. Ia menatap Kania dalam-dalam. "Lo udah nggak marah lagi sama gue?" pertanyaan itu membuat Kania terdiam dan melempar pandangan ke arah lain.

"Kalau lo masih marah, gue akan selalu sabar nunggu lo nggak marah lagi sama gue," ucap Bastian. Kania mengusap punggung tangan kanan Bastian. "Fokus sembuh dulu, ya, Bas," balasnya pelan. Ia kemudian tersenyum singkat.

"Oh my God, Kaniaaa! Lo ngapain pakai baju beginian?" Ovie masuk bersama Ryan dan langsung mengomentari pakaian Kania.

"Eh, lo ngerusak suasana aja deh," Kania menggerutu sebal. Ryan tertawa dan mengangguk membenarkan hal itu. Sementara Ovie langsung cemberut.

"Niat gue baik lho. Gue mau jenguk Bastian. Tadi pagi gue baru dapet infonya dari Harold," ucap Ovie. Gadis itu menyerahkan sekotak tempat berisi buah-buahan.

"Iya, Ovie. Thanks udah jengukin gue. Lo juga, Bro, thank you, ya," balas Bastian. "Santai. Lo banyakin istirahat aja deh, nanti kalau kondisi lo drop, kan, Kania juga yang sedih. Iya, nggak?" Ryan menyikut lengan Kania.

Kania melotot dan menginjak kaki Ryan kesal. "Diem lo!"

***

"Bastian, lo ngapain nyetir mobil?" Kania frustrasi ketika melihat mobil Bastian terparkir di halaman rumahnya. Laki-laki itu baru keluar dari rumah sakit seminggu yang lalu. Bastian menurunkan jendela mobil.

Evermore [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang