TWENTY FOUR

154 56 25
                                    

Dia yang selalu ada atau dia yang sedang berjuang?

***

Bagi pasangan lain, menjalin sebuah hubungan merupakan hal-hal yang sangat indah untuk dijalani. Kisah-kisah romansa yang sempurna dan berjalan mulus juga menjadi dambaan banyak orang.

Namun, berbeda dengan Kania dan Bastian. Tepat di bulan kedua, hubungan mereka telah dihampiri belasan masalah serta pertengkaran. Keduanya bahkan sulit untuk memperbaiki apa yang salah di antara mereka.

"Kania, kok tadi handphone kamu nggak aktif?" suara Bastian terdengar dari ponsel Kania. Kania yang sedang makan di kantin bersama Ryan dan Ovie langsung berdecak.

"Iya, batrenya habis. Ini baru di charge pakai power bank Ovie. Kenapa sih?" Kania balik bertanya. Ia mengerutkan kening sambil mengaduk jus alpukatnya.

"Pantesan. Hari ini aku nggak bisa antar kamu pulang. Kamu bisa sendiri, kan?" pertanyaan Bastian membuat Kania mengangkat wajah.

"Kamu ada urusan apa? Katanya hari ini mau lunch," balas gadis itu dengan nada kesal.

Bastian menghela napas panjang. "Aku masih banyak urusan. Next time kita lunch, oke?"

"Gitu aja terus dari kemarin," Kania menggerutu, ia sudah tidak mood untuk menyantap sisa makanan di hadapannya.

"Nia, tolong ngertiin aku, ya. Aku, kan banyak urusan. Ini juga aku lakuin supaya aku cepet wisuda," ucap Bastian berusaha menenangkan Kania.

"Hm, ya udah," Kania menutup telepon dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Ovie dan Ryan tertawa mendengar percakapan tersebut.

"Wah, wah. Ada yang kisah romansanya mulai asem nih," komentar Ryan yang disusul tawa oleh Ovie. "Baru dua bulan lho, Ni. Masa udah kayak masalah orang dua tahun pacaran?" timpal Ovie menahan senyumnya.

Kania memutar bola mata, ia memakai tasnya dan mengeluarkan selembar uang dari dompet.

"Gue pulang duluan, ya. Capek," Kania menyimpan uang tersebut di atas meja kemudian berlalu di tengah ledekan Ryan dan Ovie.

Gadis itu berjalan dengan gontai menuju gerbang kampus. Ia melirik jam sekilas, pukul dua belas tepat. Kania menatap lalu lintas yang ramai-lancar di hadapannya sambil melipat kedua tangan di depan dada. Siang itu taksi terlihat terisi semua, orang-orang sibuk ke sana-sini.

Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Kania, ia menatap ke arah mobil hitam di hadapannya dengan bingung.

"Kania, mau pulang?" ternyata Ariaz. Bibir Kania tersenyum lebar, akhirnya bantuan datang. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban.

Ariaz bergegas turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Kania. "Bareng gue aja. Ayo, masuk," ucapnya. Dengan sedikit ragu, Kania mengikuti perintah Ariaz. Setelah ia duduk, Ariaz menutup pintu mobil dan melangkah ke sisi lain mobil.

"Nggak bareng Bastian?" tanya Ariaz sambil memakai seatbelt. "Bastian lagi sibuk sama kuliahnya. Ya, maklumlah, dia pengen cepet-cepet wisuda," jawab Kania diakhiri dengan tawa pelan.

Ariaz hanya mengangguk paham menanggapi hal tersebut. Ia membuka jendela mobil dan mengeluarkan vape-nya. "Boleh?" tanyanya.

Kania tersenyum kecut dan menggelengkan kepala. "No," balasnya. Ariaz terkikik geli, Kania tidak suka berada di sekitar orang yang merokok atau apapun sejenisnya.

"Bercanda, Ni," ucap Ariaz. Laki-laki itu hari ini mengikat rambut gondrongnya dan memakai baju santai.

"Eh, kok belok kanan? Rumah gue belok kiri," Kania menegakkan posisi duduknya. "Tenang, nggak usah panik. Gue cuma mau ngajak lo makan, lo pasti belum makan, hm?" Ariaz mengangkat kedua alis yang membuat Kania terdiam. Seharusnya Bastian yang bertanya begitu kepadanya.

"Hey, malah bengong," Ariaz menjentikkan jari tangan kiri tepat di depan wajah Kania. Kania tertegun. "Eh, i-iya gue belum makan," jawabnya masih dalam keadaan kaget.

Bahkan, Ariaz tahu bahwa dirinya sedang melamun.

Ariaz memarkirkan mobil di sebuah rumah makan. Ia melepas seatbelt dan bergerak keluar membukakan pintu untuk Kania. Kania tersenyum singkat, sejak pertemuan pertamanya dengan Ariaz, ia selalu terkejut dengan perlakuan Ariaz.

***

"Ya, gitu deh. Gue juga nggak tau kenapa Bastian bisa berubah. Dia beda sama waktu sebelum pacaran," Kania menutup ceritanya bersamaan dengan makanannya yang telah habis tak bersisa.

"Thanks, ya, udah mau dengerin ceritanya gue," lanjut Kania dengan sedikit tersenyum. Ariaz balas tersenyum, laki-laki itu menyeruput kopinya sejenak.

"Sama-sama. Tapi, sorry banget gue nggak bisa bantu banyak. Lo sabar aja, kunci sebuah hubungan yang awet itu komunikasi. Kalau udah nggak ada komunikasi, lebih baik diakhiri," balas Ariaz yang membuat Kania mengangkat wajah.

"By the way, gue nggak tahan, Ni," Ariaz memasang wajah memelas sambil mengangkat vape di tangan kanannya. Kania melotot. "Nggak, Ariaz," jawabnya tegas.

"Ini, kan, rooftop. Ruang terbuka, Kania. Ya?" Ariaz memohon seperti anak kecil yang meminta balon pada ibunya. Kania menghela napas dan akhirnya mengalah.  

"Lo boleh cerita sama gue kapanpun lo mau," ucap Ariaz setelah menghirup dalam-dalam vape-nya. Kania menatap ke arah lain, penat memikirkan masalah ini. Ia teringat kejadian beberapa hari yang lalu.

"Bas, kamu tuh kenapa sih? Kamu itu ngapain sebenernya? Sesibuk itu kamu di kampus?" Kania mengomel dari panggilan telepon di malam hari.

"Iya, aku sibuk. Aku capek, ini masih banyak paper yang belum selesai. Kamu sabar dong," balas Bastian sambil mengatur napasnya di seberang sana. Terdengar suara ketikan jari di atas keyboard.

Kania berdesis. "Sampai malam begini kamu masih aja ngurusin paper lah, jurnal lah, tugas lah, apalah. Kamu sadar nggak sih, kita udah nggak ketemu tiga hari! Padahal kampus kita deket!" bentak Kania. Ia menggaruk kepalanya yang semakin pusing.

"Kania, kita masih bisa teleponan, kan? Udah dong, jangan manja," ucap Bastian yang diakhiri helaan napas lelah. Kania menggerutu kesal.

"Terserah kamu deh," gadis itu menutup telepon secara sepihak. Setelah itu, Bastian hanya mengirimkan pesan singkat bertuliskan 'sabar, ya' yang tidak dibalas hingga pagi.

"Kania? Lo kok bengong terus sih?" Ariaz lagi-lagi menyadarkan lamunannya. Kania kembali menatap lurus ke arah Ariaz yang kini mengembuskan asap vape perlahan.

"Udah, lo nggak usah galau gitu," lanjut Ariaz dengan sedikit tertawa.

"Kania!" seseorang datang dari arah kanan.

Kania dan Ariaz sontak menoleh terkejut. Bastian berdiri tepat di sebelah meja mereka. Wajahnya merah padam menatap Ariaz, seperti biasa, kemeja yang ia kenakan digulung hingga siku, tidak lupa rahangnya yang tegas menambah kesan tersendiri.

"Bastian?" Kania berbisik pelan. Bastian langsung menarik tangan Kania menjauh dari Ariaz. Ariaz sontak berdiri dengan sedikit menggebrak meja.

"Kasar banget lo sama cewek!" bentak Ariaz. Bastian mengepalkan tangan kanan. "Bas, udah, Bas," Kania memegang tangan Bastian agar meredam emosinya.

"Kamu belain dia?" Bastian menatap tajam tepat di kedua mata Kania.

Gawat, masalah ini akan semakin rumit.

Evermore [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang