SEVEN

300 172 111
                                    

Satu saja sudah rumit, apalagi dua

***

"Lo tau nggak sih, sejak lo ketemu sama Bastian, Bastian jadi lebih sering dateng ke kampus ini," ucap Ryan sambil menusuk siomay yang baru dipesannya.

Kania berpikir dan mengingat-ingat. Sudah dua bulan sejak ia bertemu Bastian memang laki-laki itu sering berkunjung ke kampus. Alasannya adalah menjemput temannya. Selalu begitu.

"Iya, jemput temen katanya. Gue juga nggak tau temen yang mana," jawab Kania cuek, ia sibuk memakan seporsi siomay miliknya. Ryan mengernyit keheranan. Seingatnya Bastian tidak pernah punya teman di kampus itu kecuali Kania dan Ovie.

"Temen?" Ryan mengulang perkataan Kania. "Iya, emang kenapa sih?" tanya Kania sambil mengikat rambut panjangnya. Ryan berpikir agak lama dan akhirnya mengangkat bahu. Mencoba menetralkan suasana.

"Nggak apa-apa. Gue kira dia ke sini karena ada lo," Ryan tertawa, mendengar itu Kania ikut tertawa dan menggelengkan kepala. "Bastian itu bukan laki-laki yang seneng modus. Gue tau itu karena dari kecil dia paling nggak suka nyakitin atau mainin perasaan cewek. Entah itu teman ceweknya atau siapapun," jawab gadis itu.

Ryan mengangkat wajahnya, ekspresinya mulai berubah. "Lo ... Belum dikasih tau sesuatu gitu sama Bastian?" tanyanya hati-hati. Namun, belum sempat Kania menjawab, Ovie menepuk pundak Ryan dan duduk di sebelahnya.

"Hey, sorry, ya. Pada nunggu lama?"

"Lumayan, Vie. Kamu udah pesen makan? Makan dulu deh, aku pesenin, ya?" tanya Ryan sambil mengeluarkan dompetnya. Ovie mengangguk mengiyakan.

"Ya udah, gue ke ruangan Pak Agustinus dulu, ya. Ini tugas gue ketinggalan, tadi lupa ngumpulin. Bye!" Kania jelas tidak ingin mengganggu Ovie dan Ryan. Ia melangkah pergi dari sana setelah mendengar teriakan dari Ovie yang mengatakan bahwa Kania akan segera diomeli panjang lebar oleh Pak Agustinus.

***

Kania melangkah menjauh dari kantin. Ia terburu-buru menuju ruangan Pak Agustinus karena dosen tua itu akan segera pulang di jam tiga sore. Sampai di depan ruangan, ia melihat seorang laki-laki dengan kaos biru dan celana jeans panjang tengah menunggu di kursi.

Kania memelankan langkah, Pak Agustinus belum tiba di ruangan jika ada mahasiswa lain yang menunggu di luar. Laki-laki itu berdiri ketika Kania mendekat.

"Lo Kania?" tanyanya. Kania mengangguk sebagai jawaban. "Kenalin, gue Harold. Tadi lo dicariin sama Pak Agustinus. Tapi, lo nya nggak dateng-dateng," ucap laki-laki bernama Harold itu. Nada bicaranya sangat menunjukkan bahwa Harold merupakan seorang blasteran, belum lagi rambutnya yang kecoklatan dan kulit putih bersih menambah poin plus bahwa dirinya adalah seorang blasteran.

"Oh, iya. Gue tadi makan dulu sebelum ke sini. Terus, Pak Agustinus bilang apa, ya?" Kania berhasil menatap kedua mata Harold yang berwarna biru. Hhm ... Tingginya mungkin hanya kurang 5-10 cm dari Bastian.

"T-tadi itu ... Pak Agustinus bilang, lo bisa simpan tugas lo di meja karena beliau udah pulang. Oh, ya, kebetulan gue anaknya. Gue dari Kedokteran Gigi," jelas Harold. Ia melihat wajah Kania yang sebelumnya curiga, takut dibohongi, kini menjadi lebih percaya. Gadis itu tersenyum dan mengangguk mengerti.

Harold ikut tersenyum dengan gerakan layaknya orang grogi. "Thanks, ya, Harold. Ya udah, gue simpan tugasnya ke dalam," Kania melangkah pergi dari sana.

Selesai menyimpan tugas, ia terkejut melihat Harold sedang berbincang dengan Bastian. "Bas?" Kania menepuk pundak Bastian, Bastian berbalik dan sama terkejutnya.

"Eh, kalian udah saling kenal?" tanya Kania. "Iya, ini Bastian, dia kak-"

"Kakak tingkat. Iya, gue kakak tingkatnya Harold," Bastian langsung memotong ucapan Harold dengan senyumannya. Kania membulatkan bibir dan mengangguk paham. Sementara Harold menatap Bastian dengan wajah bingung, ia seolah bertanya "bukannya-lo-kakak-tiri-gue?"

"Lo mau pulang, Ni?" tanya Bastian, membiarkan Harold berada dalam pusaran kebingungan sendirian. "Iya nih, gue mau pulang."

"Bareng gue aja," Harold dan Bastian berucap bersamaan. Kania sontak terdiam, ia menggigit bibir, bingung dengan keadaan. "I-itu, gue naik taksi aja. Gue duluan, ya. Udah mendung tuh. Bye!" gadis itu melangkah dengan cepat keluar dari pusaran kebingungan itu.

Tinggal Harold dan Bastian yang saling berpandangan kaku. "Kenapa lo mesti bohong sama Kania?" pertanyaan Harold memecah keheningan. Bastian menggaruk kepalanya dan menghela napas panjang.

"Masalahnya panjang, rumit."

Evermore [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang