Jika kamu yang menjadi tokoh utamanya maka masa lalu kita akan seindah itu
***
Cuaca Jakarta siang itu terlihat berbeda dari biasanya. Mendung menguasai langit menimbulkan awan-awan hitam yang berarak mengikuti arah angin meniupnya. Perlahan, tetesan-tetesan air jatuh dari langit. Tidak lupa juga dengan suara gemuruh serta kilatan cahaya yang menyilaukan.
Kania menarik selimut hingga menutupi lehernya. Di samping kanannya camilan ringan sudah tersedia, ditambah dengan suara deru AC, serta televisi yang menyala. Hhm ... Nikmat.
Kania meraih ponselnya, mengecek pesan-pesan yang masuk. Salah satunya dari Ovie yang sudah menunggu di depan pintu rumah sejak lima belas menit yang lalu. Baru saja Kania hendak membalas pesan tersebut, pintu kamar telah terbuka lebar-lebar.
"Gila lo," Ovie menutup kembali pintu kamar Kania. "Lo tuh ke mana aja sih? Gue chat nggak dibales. Gue udah nungguin setengah jam di depan rumah lo. Bener-bener, parah lo," Ovie mendengus kesal dan duduk di sofa empuk dekat pintu kamar Kania.
Kania tertawa pelan dan memilih untuk duduk. "Gue lupa, Vie, kalau lo mau dateng," jawabnya enteng. Ovie memutar bola matanya, sudah biasa Kania seperti itu. Namun, lama-kelamaan sifat mudah lupanya ikut merepotkan orang lain.
"Gue udah bawain buku-buku yang mau lo pinjem. Ini sebagian gue salin dari punya Ryan," Ovie membuka tasnya dan mengeluarkan buku-buku catatan kuliah yang sempat terlewat oleh Kania. Kania turun dari tempat tidur dan duduk di sebelah Ovie.
Sementara di luar sana, hujan gerimis telah berubah menjadi badai petir. Suaranya sangat menakutkan siapapun yang berada di luar rumah. Pohon-pohon tinggi bergoyang seolah akan roboh. Tidak lupa juga angin kencang yang terus berkesiur.
"Thanks, ya."
Ovie mengangguk sebagai jawaban. Ia kemudian membereskan tas kembali. "Minggu lalu lo jadi dinner sama Bastian?" tanya Ovie sambil bersandar di sofa. Kania menggigit kripik singkongnya sambil mengangguk.
"Ngobrolin apaan?" Ovie ikut mengambil kripik yang dipegang oleh Kania. "Ya ... Nostalgia aja sih," Kania mengangkat bahu singkat.
"Hhm ... Dia nggak ada ngomong sesuatu yang penting gitu?" tanya Ovie lagi, kali ini ia terlihat berhati-hati. Kania menyipitkan kedua matanya.
"Emangnya ada apa sih sama Bastian? Kemarin dia mau ngobrolin hal penting, Tapi akhirnya malah gue terus yang ngomong ngalor-ngidul. Dia nggak jadi ngomong. Lo tau sesuatu?"
Ovie terdiam dan menggelengkan kepala. "Nggak sih, gue nggak tau apa-apa," jawabnya, berharap Kania tidak melihat ada guratan cemas di sudut matanya.
***
"Bastian, coba jawab. Tujuh dikali delapan berapa?" tanya Kania kecil yang tengah menenteng tas berwarna pink di sebelah Bastian.
"Lima puluh enam," jawab Bastian dengan wajah datar. Ia terus melangkah dengan cepat menuju kantin, berusaha menghindari suara cempreng dari sahabat baiknya yang terus mengikuti tanpa lelah.
"Kok Bastian pintar?" pertanyaan Kania membuat Bastian menghentikan langkah dan menoleh. "Kania, aku udah kelas enam. Kamu masih kelas tiga. Jadi, pinteran siapa?" Bastian melipat kedua tangan di depan dada. Kania terlihat berpikir.
"Kalau Bastian pintar, kenapa Bastian nggak langsung cari kerja aja?" Kania mengerjapkan kedua matanya yang membulat lucu. "Cari kerja itu kalau udah lulus kuliah. Kalau sekarang nggak bisa. Ayo, makan," Bastian menggandeng tangan Kania untuk masuk ke kantin, ia tidak mau Kania lebih banyak berbicara yang akhirnya membuat dirinya pusing sendiri.
"Bastian, kalau orang meninggal itu ada di mana?" tanya Kania ketika mereka telah duduk di sebuah kursi panjang. Bastian mengernyit kemudian menoleh. "Kok Kania nanya begitu?"
"Iya, aku mau tau aja."
"Orang meninggal itu adanya di langit. Udah beda alam sama kita. Dan, kita nggak bisa ketemu lagi sama orang yang meninggal itu di dunia," jelas Bastian yang membuat Kania mengangguk-angguk mengerti sambil menggigit sandwich nya perlahan.
"Sedih dong?" tanya Kania lagi. Bastian tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Sedih itu cuman sementara. Tapi, Kania harus ingat, orang yang udah meninggal itu akan tetap ada di hati orang tersayangnya," jawaban Bastian membuat Kania tersenyum lebar. Ia mengerti sekarang. Bastian selalu bisa menjelaskan hal-hal rumit dengan bahasa yang mampu ia mengerti.
"Berarti, di hati aku ada Nenek, ya, Bas?" tanya Kania sambil memegang dadanya dengan tangan kiri. Bastian mengangguk membenarkan. "Iya, betul. Nenek kamu akan selalu ada di hati kamu."
***
Deg!
Kania memegang dadanya, ia terbangun dari tidur bersamaan dengan berakhirnya mimpi yang berupa masa kecilnya dengan Bastian. Gadis itu meneguk segelas air putih dan mendengar suara hujan di luar sana yang turun dengan deras, sama derasnya dengan hujan di siang tadi.
Ia melirik jam, sudah pukul satu malam. Kania kembali mengelus dadanya yang terasa berdesir hangat. "Bastian," bisiknya pelan sekali. Gadis itu mengikat rambutnya kemudian meraih ponsel di atas nakas. Lampu meja ia nyalakan agar tidak terlalu gelap.
Kania :
Bastian, thank you for coming to my dream tonight.Ternyata Bastian masih berselancar dengan ponselnya juga. Laki-laki itu membalas pesannya dengan cepat membuat Kania mengulum senyumannya.
Bastian :
Pantesan gue nggak bisa tidur. Ternyata gue kejebak di mimpi lo.Kania tertawa pelan sambil menarik selimutnya hingga ke pinggang.
Kania :
Barusan gue mimpiin kita waktu masih SD. Gue nggak nyangka😭Bastian terdiam setelah membaca pesan tersebut. Kita waktu masih SD. Kalimat itu membuat Bastian pusing dan menghela napas panjang.
Please, Kania, don't talk about the past.
Bastian :
Hahaha ... Ya udah, gue tidur duluan. See ya!

KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomansaPercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...