TWENTY EIGHT

137 50 19
                                    

Bersamamu aku paham, bahwa pelukan dapat meredakan rasa marah

***

Harold menuang jus jambu dari botol merah di atas meja. Pandangannya tertuju pada televisi yang menampilkan acara pertandingan basket. Ia kemudian menutup botol jus dan membawa gelasnya duduk di sofa. Matanya tak lepas dari pemain andalannya yang sedang melakukan drible bola.

Laki-laki itu hampir menumpahkan jus jambunya ketika terdengar sebuah suara dari lantai dua. "Pa?" Harold bergumam, ia bergegas menaruh gelas di atas meja dan berlari menaiki tangga.

"Papa?" Harold membuka pintu kamar mandi, kosong. Ia berlari menuju kamar Bastian, lantas melihat sang Papa tidak sengaja menjatuhkan setumpuk kardus di kamar Bastian.

Harold menghela napas lega dan menghampirinya. "Papa ngapain?" tanyanya yang membuat Pak Agustinus menoleh, di tangannya terdapat sebuah foto perempuan yang merupakan mahasiswinya di kampus.

Harold ikut melihat ke arah foto tersebut. "Itu Kania," ucapnya pelan, Pak Agustinus mengangguk-anggukkan kepala dan duduk di ujung meja belajar Bastian.

"Bastian nggak pernah sampai begini dalam mencintai seseorang," ucap Pak Agustinus, bibirnya tersenyum hangat. Harold ikut duduk di pinggir tempat tidur milik sang kakak.

"Dia itu anak yang tulus, baik, dan cerdas," lanjutnya yang membuat Harold menunduk. Pak Agustinus menatap Harold dan tersenyum lebih lebar. "Seperti kamu," perkataan Pak Agustinus tersebut berhasil membuat Harold membuatkan kedua mata dan mengangkat wajah.

"Bedanya ... Kamu masih belum bisa mengontrol emosi," Pak Agustinus sedikit tertawa, sementara Harold tersenyum kecut menanggapi hal itu.

"Karena aku juga suka sama Kania, Pa," Harold berkata pelan. Pak Agustinus tersentak, ia mendekati Harold dan meminta penjelasan lebih lanjut. "Maksud kamu apa?"

Harold menghela napas panjang. "Iya, aku suka sama Kania, Pa. Tapi, Kania nggak suka," ucapnya sambil menggelengkan kepala. Pak Agustinus menaruh foto Kania di atas tempat tidur dan mengusap punggung Harold.

"Tenang, Papa banyak kenalan mahasiswi, cantik-cantik lagi," goda pria tua itu. Harold terkekeh geli mendengar ucapannya. "Daripada kamu dianggap pengacau, mending nanti aja Papa pilihkan yang baik buat kamu," Pak Agustinus tertawa setelah mengucapkan hal tersebut.

Harold ikut tertawa lepas. Ia mengangguk-angguk mengiyakan ucapan sang Papa. Ia menatap pria tersebut dan sedikit tersenyum hangat. Tatapan Papa kepadanya selalu sama seperti sewaktu ia kecil, hangat dan tulus.

***

Hari ini Kania sudah diizinkan pulang oleh dokter. Segala keperluan, urusan administrasi, dan sebagainya diurus oleh Ariaz. Kini gadis itu tengah menatap punggung tangannya yang terbalut plester.

Ariaz memakai sepatunya di ujung kamar rawat, matanya tertuju pada sebuah tas cukup besar milik Kania. Laki-laki itu mengambil tas tersebut dan membantu Kania turun dari ranjang.

"Thanks, ya. Nanti gue bilang ortu gue deh, harusnya mereka yang ngurusin, tapi malah lo," ucap Kania, ia kini memakai sepatunya. Ariaz menggelengkan kepala. "Udah, nggak usah. Ayo, pulang," timpalnya.

Kania melirik vas bunga yang masih terisi bunga mawar merah, harusnya hari ini bunga tersebut berganti menjadi bunga lain. Ariaz mengambil bunga tersebut dan memberikan pada Kania.

"Buat lo, hehe ..." Ariaz memasang wajah tidak bersalah dan mengklaim bunga itu darinya. Kania tersenyum singkat dan menerimanya. Ariaz dan dirinya melangkah menuju lift dan turun. Mereka hanya saling diam hingga keduanya duduk di mobil.

Evermore [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang