Ketika cemasku berubah menjadi kesal, maka kamu berhasil memenangkan hatiku
***
Bastian membuka ritsleting tas olahraganya, ia mengambil air mineral yang masih dingin. Suasana malam itu sangat sepi, ia sengaja datang ke tempat basket sendirian di malam hari.
Setelah sebelumnya ia berkali-kali memasukkan bola ke ring basket, kini ia terduduk di pinggir lapangan. Angin malam menerpa wajahnya perlahan, seirama dengan napasnya yang sedikit terengah-engah.
Seseorang melangkah dari arah kiri Bastian dan melempar bola tepat mengenai kepalanya.
"Akh!" Bastian memegang pelipis kirinya yang kini terasa berdenyut. Ia memejamkan kedua mata sejenak, lalu menoleh.
"Lo apa-apaan sih?!" Bastian membentak Harold, ia bangkit dari duduknya dan menatap Harold tajam. Laki-laki blasteran yang melempar bola itu hanya tersenyum miring dan menepuk pundak kanan Bastian berkali-kali.
"Lucu, hah?!" Bastian telah terbakar emosi. Ia mendorong bahu kanan Harold. "Santai dong. Kok emosi?" Harold tertawa meremehkan Bastian. Bastian semakin kesal, ia mengepalkan tangan kanannya.
"Mau lo apa sih?" tanya Bastian dengan sorot mata sangat tajam bak elang. Harold mengangkat bahu singkat dan memilih untuk mengambil bola basket. Bastian mendengus kesal kemudian meraih tas olahraganya. Ia memilih untuk pergi dari tempat tersebut sebelum kemarahannya meledak.
Bastian membuka pintu mobil kemudian masuk. Sebelum menyalakan mesin mobil, ia mengecek ponsel dan terkejut melihat belasan pesan serta puluhan telepon masuk dari Ovie dan Ryan. Ia menekan tombol hijau pada nama Ryan.
"Gila lo. Ke mana aja? Gue sama Ovie ketar-ketir nyariin Kania. Lo lagi sama Kania nggak?" Ryan langsung menyemprot Bastian dengan omelannya. Bastian mengerutkan kening, ia menegakkan posisi duduknya.
"Gue lagi nggak sama Kania. Gue malah nggak tau dia di mana," balas Bastian. Terdengar suara Ryan yang berdecak. "Orang tuanya juga nyariin karena handphone Kania juga mati, tadi sore mereka nelepon Ovie. Sampai sekarang Kania belum pulang," jelas Ryan. Bastian terdiam, sedetik kemudian ia melempar ponselnya dan menyalakan mesin mobil.
Mobil Bastian segera meluncur membelah jalanan. Ia melirik jam, pukul sembilan malam dan Kania tidak pernah pulang lewat dari jam enam sore tanpa kabar. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan berhenti tepat di tempat pemakaman Baskara.
Ia celingukan mencari Kania, kosong. "Pak Amar!" Bastian memanggil penjaga makam Baskara yang tengah membereskan salah satu makam lain. Pak Amar menoleh dan menghampiri Bastian.
"Pak, tadi Bapak lihat perempuan datang ke sini nggak? Tingginya cuma segini, rambutnya hitam panjang," Bastian menunjuk dadanya untuk mengira-ngira tinggi badan Kania. Pak Amar terlihat mencoba mengingat-ingat. Namun, pria yang sudah beruban itu menggelengkan kepala.
"Nggak ada, Mas Bas. Tadi nggak ada siapa pun yang datang ke makam saudara kembarnya Mas Bas," jawaban itu membuat Bastian lemas seketika. Ia berterima kasih kemudian pergi kembali ke mobilnya.
Bastian menekan tombol hijau pada nama Kania. Hingga dering terakhir, Kania tidak mengangkat telepon tersebut. Bastian menelepon lagi, lagi, dan lagi. Namun, hasinya tetap sama.
Bastian akhirnya menelepon Pak Agustinus. "Halo, Pa. Papa di mana?" tanya laki-laki itu cepat. "Di rumah, kenapa?" Pak Agustinus terdengar bingung, pasalnya Bastian tidak pernah menanyakan hal seperti itu sebelumnya.
"Aduh, kampus tempat Papa ngajar masih ada jam kuliah nggak, Pa, sekarang?"
"Ada, kelas malam, yang ngajarnya teman Papa. Memangnya kenap-"
Telepon langsung diputus oleh Bastian, ia segera meluncur ke kampus Kania. Meskipun ia tahu bahwa Kania tidak memiliki jadwal kuliah malam.
Mobil berhenti di tempat parkir kampus. Bastian segera turun dan masuk ke gedung fakultas hukum.
"Bas?" sebuah suara membuat Bastian menoleh ke belakang. Kania menatapnya dengan tatapan bingung. Bastian langsung memeluk singkat tubuh Kania.
"Lo ke mana aja sih?" laki-laki itu melepas pelukan sambil mengomel. Sementara Kania masih terkejut dengan perlakuan Bastian barusan. Ia terlihat sedikit grogi.
"Gue ada pergantian jadwal kuliah, dari siang ke malam, soalnya tadi siang dosennya ada urusan," jawab Kania masih dengan tatapan kebingungan. Bastian menggelengkan kepalanya dan mengulurkan tangan kanan.
"Mana handphone lo? Kenapa mati?" tanya laki-laki itu dengan wajah memelas. Kania menyipitkan kedua matanya dan merogoh tas. "Ini?" dengan polosnya ia memberikan ponsel kepada Bastian untuk dicek.
"Ya ampun, Kania. Kenapa mobile data-nya dimatiin?" Bastian hendak tertawa, tetapi di sisi lain ia juga kesal. "Oh, ya? Kayaknya kepencet. Pantesan kok nggak ada yang nyariin gue," Kania tertawa yang berhasil membuat Bastian speechless di tempat.
"Kania, jangan bikin gue kesel karena khawatirin lo."
***
Kania menutup pintu mobil Bastian dan melambaikan tangan. Sekarang sudah pukul sebelas malam, Bastian mengajaknya untuk makan malam terlebih dahulu tadi. Gadis itu meregangkan badannya kemudian masuk ke rumah.
"Harold?" Kania terkejut ketika melihat Harold tengah mengobrol dengan kedua orang tuanya. Harold menoleh dan tersenyum.
"Lo ngapain?" tanya Kania dengan sedikit berbisik. "Hey, Kania. Ayo, sini duduk. Awalnya Mama juga bingung Harold ini siapa. Ternyata temen kamu, nih dia bawain cheese cake buat kita. Nak Harold kok bisa tau, ya, kalau kita suka cheese cake?" jelas Mama sambil mencolek lengan Harold yang duduk di sampingnya.
Kania menggaruk kepalanya dan duduk di sebelah Papa. "Nggak kok, Tante. Kebetulan tadi saya lewat toko kue dan ada cheese cake. Jadi, saya bawain ke sini," jawab Harold. Sementara Kania hanya tersenyum simpul menanggapi itu.
"Eh, kamu tadi ke mana? Ovie, Ryan, Mama, dan Papa nyariin kamu. Handphone kamu mati lagi," tanya Papa. "Iya, Pa. Tadi mobile data-nya ternyata off. Untung aja Bastian nyusulin ke kampus," jawab Kania sambil menunjukkan ponselnya yang kini sudah kembali normal.
"Bastian siapa?" tanya Papa lagi. "Temen, Pa," jawab Kania dengan nada bicara sedikit ragu. Papa hanya menganggukkan kepala mengerti. Sementara Harold menatap Kania datar setelah gadis itu menyebut nama Bastian
"Oh, iya, Nak Harold satu kampus sama Kania?" tanya Mama sambil memotong cheese cake untuk Kania.
"Jurusan apa?"
"Tinggal di mana?"
"Hobinya apa?"
"Udah punya pacar?"
Malam itu mungkin Harold mendapatkan kesempatan untuk dikenal oleh kehidupan Kania. Namun, tanpa disadari ada manusia lain yang merasakan hatinya hancur tak bersisa.
Bastian mendengar percakapan-percakapan itu dari luar pintu. Di tangannya terdapat buku catatan milik Kania yang tertinggal di mobilnya. Bastian menyimpan benda tersebut di atas meja kecil dekat pintu yang tertutup rapat.
Ia pergi dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomansaPercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...