TWELVE

253 129 73
                                    

Keresahanku sirna setelah pesanmu masuk ke dalam ponsel ku

***

"Bastian Adhikara," suara panggilan sang Papa terdengar. Bastian yang tengah termenung di pinggir kolam renang langsung menoleh. Ia kemudian menerima secangkir teh hangat buatan pria yang kini terduduk di sampingnya.

"Nggak apa-apa kok, Pa," jawab Bastian sambil menunjukkan senyumannya. "Thanks, ya, Pa," lanjut laki-laki itu. Ia menyesap teh hangat tersebut perlahan. Sementara langit mulai mendung, suara angin yang berkesiur membuat sedikit gelombang pada air kolam.

Pak Agustinus menepuk pundak gagah laki-laki di sampingnya. "Kenapa? Udah satu minggu lebih kamu kebanyakan ngelamun," tanya Pak Agustinus, kedua kakinya diturunkan hingga masuk ke kolam renang.

Bastian menggelengkan kepala sambil menatap lurus ke depan. "Papa tau kamu lagi ada masalah. Nggak biasanya kamu nolak ajakan Harold main basket di lapangan depan," ucap Pak Agustinus. Bastian tertegun, ia tadi memang menolak ajakan itu karena memang dirinya sedang tidak mood.

"Biasanya anak Papa yang satu ini paling semangat main basket," Pak Agustinus tertawa pelan dan menepuk kembali pundak Bastian. Bastian tersenyum simpul dan kembali menyesap teh hangatnya.

"Papa sendiri nggak ke kampus?" tanya Bastian, ia kini berani untuk menoleh. "Hari ini Papa free. Sana pergi basket. Daripada di sini, nanti Papa nggak berhenti nanya-nanya," jawab Pak Agustinus dengan sedikit senyum hangatnya.

Bastian menghela napas panjang dan malah ikut mencelupkan kedua kaki ke dalam kolam renang. "Nggak, Pa. Bas di sini aja," balas Bastian sambil menatap sang Papa dari samping.

"Ooh, pasti kamu lagi mikirin perempuan, ya? Biasanya kalau urusan kampus kamu nggak pernah sampai ngelamun begini," tebak Pak Agustinus. Bastian menelan ludah dan kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Pak Agustinus menyenggol lengan Bastian sambil tersenyum meledek. "Ayo, perempuan mana yang akhirnya nyangkut di hati kamu, hm?" tanya pria dengan rambut yang sudah sebagian beruban itu.

"Nggak kok, Pa," jawab Bastian singkat. Mungkin, semesta kini tengah berpihak padanya, terbukti dengan ponsel sang Papa yang berbunyi tanda ada pesan masuk.

Kania :
Selamat siang, Pak Agustinus. Saya sudah tiba di depan ruangan Bapak untuk keperluan mengumpulkan tugas saya yang tertinggal. Tapi ruangan Bapak terkunci. Di mana saya bisa temui Bapak, ya? Terima kasih.

"Anak ini sopan tapi kuliahnya males-malesan," ucap Pak Agustinus, Bastian sedikit melirik isi pesan tersebut. Ia melotot terkejut, ternyata yang dimaksud sang Papa adalah Kania.

"Suruh ngumpulin ke rumah aja, Pa," celetuk Bastian yang membuat sang Papa mengangkat sebelah alis. "Are you serious? Papa nggak pernah nerima tamu kampus di rumah. Papa ke kampus dulu," Pak Agustinus mengangkat kedua kakinya dari kolam renang dan mengelapnya dengan handuk putih yang telah disediakan di ujung kolam.

"Bas aja yang nerima tugasnya, Pa," Bastian bangkit dari duduknya. Mendengar itu Pak Agustinus tersenyum kecil dan mengangguk-anggukan kepala.

"Sepertinya Papa tau perempuan mana yang bikin kamu ngelamun terus."

***

Malamnya, Bastian sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Ia resah, amat resah. Laki-laki itu membuka kunci layar ponsel dan menekan tombol hijau pada nama Kania.

Sementara itu, Kania yang tengah menonton film di kamarnya langsung menoleh ketika ponselnya berbunyi. Nama Bastian langsung tercetak di sana. Nama yang ia abaikan hampir dua minggu. Dengan berat hati, Kania menekan tombol merah.

Sebuah pesan masuk ke ponselnya.

Bastian :
Give me one chance to be a special person in your life again

Kania terdiam dan memejamkan kedua matanya. Hatinya seolah berada di sebuah persimpangan jalan dan kini ia bingung harus memilih jalan yang mana.

Special person? Apa iya Bastian memang se-spesial itu untuknya?

Kania masih diam menatap pesan tersebut. Ia akhirnya mengalah, jarinya menari di atas keyboard ponsel.

Kania :
Let's meet tomorrow

Tepat pada saat itu Bastian langsung duduk dan melepas selimutnya. Ia tidak menyangka usahanya tidak sia-sia. Kania akhirnya membalas pesan dan mengajaknya bertemu.

Bastian :
Okay. See you, Kania

***

"Kania! Jangan main di dekat ring basket!" Baskara menjerit panik. Ia menarik tangan Kania untuk minggir dari lapangan. Benar saja, bola basket hampir menyerempet kepala Kania. Kania masih terkejut, untung saja ada Baskara.

"Kalau kepala kamu kena bola gimana? Bisa pecah nanti," ucap Baskara, ia mengomel jika Kania melakukan hal-hal yang berbahaya.

"Beneran pecah?" Kania mengerjapkan kedua matanya tidak percaya. Kepolosan itu membuat Baskara mengusap wajah, ia gregetan dengan gadis yang rambutnya terkuncir dua itu.

"Lain kali kalau ada yang lagi main basket, kamu jangan masuk ke lapangan," ucap Baskara sambil memegang kedua pundak Kania. "Paham, kan?" lanjutnya.

Kania mengangguk mengiyakan. "Siap, paham!" gadis itu melakukan hormat. Baskara menghela napas dan membawa Kania duduk di pinggir lapangan yang lebih teduh.

"Kania harus bisa jaga diri sendiri. Nanti kalau aku nggak ada, siapa yang jagain? Sebentar lagi, kan, aku SMP," tanya Baskara yang membuat Kania cemberut.

"Iya deh, aku belajar jaga diri sendiri," balasnya dengan kesal. Baskara tersenyum dan mengacak-acak rambut Kania.

"Nah, gitu dong."

Evermore [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang