Olahan rasa dihatiku menghasilkan racikan cinta untukmu
***
Kania turun dari tribun dengan menahan tangisnya. Ia tidak ingin menangis lagi hanya karena Bastian. Bastian pun tidak salah, Kania yakin semua ini adalah kesalahan dari dirinya sendiri. Gadis itu tiba di lorong-lorong gedung.
"Kania, mau pulang?" suara panggilan seseorang membuat langkah Kania terhenti dan menoleh. Harold terlihat melangkah ke arahnya dengan keringat yang bercucuran dan handuk kecil melingkar di lehernya.
Kania hanya tersenyum singkat dan mengangguk sebagai jawaban. Harold mendekat dan menyipitkan kedua mata menatap wajah Kania.
"Lo kenapa? Lo habis nangis?" tanya Harold yang dibalas gelengan kepala oleh Kania. Tangan Harold terangkat menyentuh pipi kanan Kania dan menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajahnya. Kania terkejut, ia memegang tangan Harold.
"Sorry, gue cuman mau make sure aja kalau lo beneran nggak nangis," ucap Harold dengan sedikit menunjukkan senyumannya. "Gue duluan," Kania melangkah pergi dari sana dengan sedikit menunduk.
Harold menahan lengannya yang membuat Kania hampir terjatuh. Harold sigap menangkap tubuh Kania.
"Sorry, sorry. Gue kaget," ucap Kania. Ia melepaskan diri dari pelukan Harold. "Gue anter lo pulang, ya. Lo nggak bisa pulang sendirian dalam kondisi kayak begitu," balas Harold, ia mengeluarkan kunci mobil dari kantong celananya.
Kania hanya diam, andai Bastian yang menemaninya saat ini, mungkin ia dengan senang hati menerima ajakan tersebut. Kepalanya pusing memikirkan permasalahan antara dirinya dan Bastian.
"Kania? Ayo," Harold ternyata telah melangkah duluan. Kania tersadar dan mengikuti Harold dari belakang. Entah mengapa hatinya sangat hampa, seperti ada ruang kosong yang tidak terpenuhi oleh apapun. Dan, ruang kosong itu hanya bisa diisi oleh satu nama, yaitu Bastian.
"Wait, ini masih waktunya lo basket, kan?" tanya Kania, ia melirik jam tangan di lengan kirinya. Harold menghentikan langkah tanpa menoleh, laki-laki itu berhenti bukan karena pertanyaan Kania. Melainkan melihat Bastian yang tengah berdiri di ujung lorong sana.
"Harold?" Kania belum menyadari kehadiran Bastian. Ia menepuk pelan pundak kiri Harold.
"Kania, pulang sama gue," ucapan Bastian berhasil membuat Kania melotot kaget. Bastian menatap Kania sekilas kemudian beralih ke arah Harold. Harold mengepalkan kedua tangannya dengan napas yang sudah memburu.
"Gue duluan yang ngajak dia pulang," balas Harold, ia maju satu langkah, berdiri membelakangi Kania. Bastian ikut melangkah maju dan menatap Harold dengan nyalang.
"Udah, udah," Kania segera melerai keduanya sebelum ada pertengkaran. Ia berdiri di tengah-tengah Harold dan Bastian. Bastian memegang tangan kanan Kania dan langsung membawanya pergi.
"Sialan!" Harold mengumpat hingga terdengar oleh Kania dan Bastian. Namun, Bastian tidak menggubris, ia terus membawa Kania menuju tempat parkir mobil. Sementara Kania hanya diam mengikuti dengan perasaan yang kalut.
***
Selama dua puluh menit, Kania dan Bastian hanya diam. Tidak ada percakapan, apalagi canda-tawa. Semua itu seolah hanya impian semata.
Bastian mengemudi mobil dengan normal. Namun, ia tidak menggubris kehadiran Kania di samping kirinya. Sementara Kania melihat ke arah luar jendela dengan sudut mata menggenang.
Suara musik mengalun dari radio mobil, menjadi pemecah keheningan di antara keduanya. Jalanan macet parah, ditambah dengan sisa-sisa hujan yang membuat suasana menjadi syahdu.
"Gue minta maaf," ucapan permintaan maaf Bastian menjadi pembuka percakapan mereka. Jujur, laki-laki itu sudah tidak tahan lagi dengan kondisi hening tersebut. Kania tidak merespon, ia masih menatap keluar jendela.
"Gue tau gue salah. Gue nggak ngertiin posisi lo waktu itu," lanjut Bastian lembut, bahkan ia memegang tangan kanan Kania. Kini, Kania mencoba untuk menatap Bastian perlahan.
"Gue nggak mau kita kayak gini," Bastian meraih tangan kiri Kania. Ia menggenggam kedua tangan gadis itu erat-erat.
"Gue sayang sama lo, Kania," lanjut Bastian. Kania menatap Bastian tepat di kedua bola matanya. Terdapat raut penyesalan di sana. Gadis itu mencoba menarik kedua tangannya. Namun, Bastian menahan kedua tangan Kania agar tetap dapat ia genggam.
"Gue tau kok. Lo cuma sayang sama saudara kembar gue. Lo nggak perlu jawab pernyataan gue sekarang. Gue tau lo belum pulih dari kabar kematian Baskara," jelas Bastian.
Kania mengangguk tipis membenarkan hal tersebut. Terlebih, Bastian telah membohonginya. Dalam lamunannya, ia merasakan tubuh Bastian merengkuhnya, membuat Kania dapat menghirup aroma tubuh laki-laki itu. Kania menyandarkan kepalanya di dada bidang Bastian. Nyaman, sangat nyaman, hingga ia tersenyum sangat tipis.
Bastian memberikan rasa hangat untuk Kania, ia mengecup singkat puncak kepala gadis itu. Bastian pun tersenyum, ia berharap Kania dapat mendengar debaran jantungnya yang menyiratkan rasa cinta untuk Kania.
Bastian melepaskan pelukan tersebut. Ia memegang pipi kanan Kania yang sudah basah oleh air mata. Laki-laki itu menyelipkan sejumput rambut di belakang telinga Kania, tersenyum ke arahnya.
Bastian menggerakkan lehernya mendekat ke bibir mungil milik Kania. Kania hendak berbicara, tetapi sulit. Napas Bastian mulai mengenai wajahnya. Bibirnya sebentar lagi akan mendarat di ...
"HEH! NGAPAIN KALIAN?" suara tersebut berhasil membuat Kania dan Bastian terlonjak kaget. Keduanya bahkan berteriak terkejut sambil melihat ke sumber suara.
Tepat di jendela kanan, seorang pria berseragam polisi tengah melotot sambil mengetuk jendela mobil kencang-kencang.
"Aduh, gimana nih, Bas?"
***
"HAHAHA, mampus, mampus!" Ovie tertawa sangat bahagia mendengar cerita Kania tentang kejadian kemarin sore. Ryan ikut tertawa puas, bahkan sampai mengeluarkan air mata. Sementara Kania berdecak kesal sambil melipat kedua tangan di depan dada.
"Damn, you two are really cute," komentar Ryan setelah tawanya mereda. "Such a sweet relationship," sambung Ovie. Kania mengernyitkan kening.
"Relationship apaan? Kita nggak pacaran, jangan ngawur!" protes Kania kesal. Ovie menepuk pundaknya.
"Dengerin gue. Cepet atau lambat, lo bakal punya 'relationship' sama Bastian," ucap gadis itu. Kania tersenyum miring dan menggelengkan kepala, ia ragu dengan perkataan Ovie barusan.
"Gimana caranya gue bisa punya hubungan sama Bastian? Setiap gue lihat Bastian, di situ selalu ada Baskara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...