Hadirmu adalah sebuah perampasan hati
***
Ovie membuka pintu sebuah kafe, lonceng kecil berbunyi ketika pintu terbuka sempurna. Gadis itu melangkah menuju sebuah meja di ujung kafe, dekat dengan jendela.
Ryan menutup buku yang dibaca dan tersenyum. "Hai, Vie. Belum makan, kan?" sapa laki-laki itu. "Belum nih, oh iya. Mana Bastiannya?" Ovie bertanya dengan sedikit berbisik, kedua matanya ia arahkan ke sekeliling mereka.
"Belum dateng. Mungkin sebentar lagi," jawab Ryan sambil mengecek arloji di pergelangan tangan kiri. Namun, mereka tidak perlu menunggu lama karena seorang laki-laki berpostur tinggi, berbadan tegap, serta wajah yang tegas terlihat melangkah menuju meja mereka. Tidak lupa senyum tipis yang ia tunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya membuat perempuan mana pun langsung menoleh.
"Hai, udah nunggu lama, ya?" tanya orang tersebut, ia membenarkan kemeja biru tua yang dipakai dengan bagian kedua tangan digulung hingga siku. Ovie berkali-kali memastikan bahwa laki-laki itu tidak salah orang. Wajahnya, hhmm ... Tampan.
"Santai aja, Bro. Baru tiga jam kok," jawab Ryan disertai tawanya, Bastian mengambil tempat duduk di sebelah Ryan dengan tersenyum lebar.
"So, ada apa ini? Tumben ngajak ketemuan di jam makan siang begini?" tanya Bastian, ia menoleh bergantian ke arah Ryan dan Ovie. Ovie membuka mulut hendak menjawab, namun nampaknya Ryan lebih cepat mengambil alih percakapan.
"Kayaknya kalian berdua harus kenalan dulu nih. Vie, kenalin, ini Bastian Adhikara. Dia ini sepupu jauh aku. Dan, ini Ovie, pacar gue," ucap Ryan kepada keduanya. Bastian dan Ovie bersalaman singkat. Ovie masih memerhatikan wajah Bastian yang terkesan sangat dewasa dan tidak cocok untuk disebut mahasiswa.
"Oh, ya. Panggil gue Bastian aja, gue nggak suka dipanggil pakai sebutan kakak atau mas," ucap Bastian pada Ovie.
"Nah, Bastian ini baru aja lulus kuliah. Sekarang lagi lanjut S-2," jelas Ryan. Saat itu Ovie membulatkan mulut, ternyata benar dugaannya. Ia bahkan membayangkan ekspresi wajah Kania ketika melihat Bastian.
"Bastian, tujuan kita ngajak lo ke sini karena ada hal yang harus diomongin," Ovie sudah tidak sabar, ia tidak ingin basa-basi lagi. "Gue mau tanya, lo kenal sama Kania? Kania Helena?" lanjut gadis itu.
Wajah Bastian yang semula tenang dan santai kini berubah menjadi tegang. Ia melirik ke arah Ryan yang juga menunggu jawaban dari mulutnya. Bastian memejamkan kedua mata sambil mengacak-acak rambut.
"Gue kenal. Kenapa?" jawaban tersebut sukses membuat Ryan dan Ovie tersenyum senang. "Dia itu temen gue. Dia nyariin lo udah lama banget, Bas," ucap Ovie, ia menegakkan posisi duduknya dan menatap Bastian lekat-lekat.
"Lo ke mana aja? Kania selalu nungguin lo."
***
Kania menyemprotkan parfum sample yang berada di hadapannya ke pergelangan tangan kiri. Lantas, wajahnya berubah masam. "Wanginya bikin insecure. Ini sih parfum orang kantoran," Kania menggerutu, ia menyimpan sebotol parfum tersebut kembali ke tempatnya.
Gadis itu akhirnya melangkah menuju kasir, membayar dua parfum yang telah ia dapatkan sebelumnya. Jika Ovie tahu dirinya menghabiskan uang untuk hal-hal seperti ini mungkin ia akan diceramahi sampai Subuh.
"Totalnya jadi tiga ratus empat puluh ribu," petugas kasir menyebutkan nominal ketika Kania mencari dompetnya di dalam tas. Rasanya ia sudah menyimpan dompet di tas dan tidak dipindahkan ke mana-mana. Namun, kini dompetnya hilang entah di mana. Kania mulai panik dan membuka ritsleting tas lebih lebar. Kartu ATM, KTP, dan kartu-kartu lainnya ada di dalam dompet tersebut.
"Dulu krayon yang hilang, sekarang dompet, hm?" seorang laki-laki tiba-tiba sudah berdiri di samping kirinya. Ia menjulurkan tangan memberikan dompet merah maroon milik Kania. "Aduh, ini dia. Makasih, ya, Mas," Kania cepat-cepat mengeluarkan uang dari dompet tersebut dan memberikan kepada petugas kasir.
Kania menerima tas belanjanya dan berlalu. Hal itu membuat Bastian bingung, ia mengejar Kania yang sudah berada di luar toko.
"Kania!"
Kania menghentikan langkah dan menoleh. "Ada apa lagi, ya, Mas? Eh-" kedua bola mata Kania membulat sempurna. "Kayak kenal, siapa, ya?" gadis itu berusaha mengingat-ingat. Sama sekali tidak terlintas nama Bastian di kepalanya.
"Yakin nggak kenal?" Bastian menaik-turunkan alis. Hal itu membuat Kania semakin bingung dan menatap wajahnya dalam.
"Come on, gue Bastian, Kania," Bastian akhirnya mengalah, Kania memang selalu lemot. Detik itu juga Kania langsung melompat ke arahnya sambil berteriak tertahan, pelukan hangat langsung menyambar tubuh Bastian. Ia tersenyum tipis dan membalas pelukan tersebut. Dagunya ia sandarkan ke puncak kepala Kania.
"Bastian? Lo beneran Bastian? Kenapa nggak mirip?" Kania melepaskan pelukan, sudut matanya berair. Bastian tertawa mendengar pertanyaan tersebut sambil mengusap ujung mata Kania. "Dulu masih culun, sekarang udah glow up," jawab Bastian disertai tawanya yang selalu Kania rindukan.
Jika suasananya berbeda, mungkin Kania sudah memeluk Bastian lagi untuk mengobati rindunya. Namun, tidak mungkin ia berpelukan lama di tengah-tengah mall seperti ini. Bastian membawanya ke sebuah restoran dekat mereka, Kania tidak henti-hentinya tersenyum dan berbincang tentang apapun dengan antusias.
"Bas ... Dulu gue pernah ngilangin krayon lo. Lo inget nggak?" pertanyaan tersebut membuat Bastian yang tadinya membaca buku menu kini mengangkat wajah.
"Hm ... Iya, gue ingat," jawabnya disertai senyum tipis khasnya. Laki-laki itu menggulung kembali kemeja di bagian tangannya yang mulai berantakan.
Bastian menatap wajah Kania yang masih berseri-seri dan kini gadis itu tengah sibuk membicarakan tentang perkuliahannya.
"Lo ambil jurusan apa?" tanya Kania di akhir ceritanya. "Gue ambil manajemen dari S-1. Lo sendiri gimana?" Bastian balik bertanya sambil membuka halaman selanjutnya dari buku menu.
"Manajemen? Bukannya lo dulu mau ambil hukum bareng gue?" tawa Kania terdengar, Bastian tersenyum dan mengacak-acak puncak kepala gadis itu. "Itu kan dulu. Waktu masih SD gue cuman kenal jurusan hukum," jawaban Bastian membuat Kania cemberut. Ternyata dulu Bastian membohonginya.
Bastian menoleh ke kanan karena merasa ada yang mengawasi. Benar saja, Ovie dan Ryan melambaikan tangan dari kejauhan ke arahnya. Bibir Ovie bergerak menyebutkan sebuah kalimat "good luck" kemudian keduanya pergi dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evermore [END]
RomancePercaya dan kecewa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Serpihan kata rindu pun tidak akan mampu mengubah dua hal paling menakutkan itu. Kini, saatnya untuk memilih, tetap percaya atau tenggelam dalam lautan kecewa. Selamat menyelam dalam lauta...