16 - Bukan Pilihan

1.5K 53 1
                                        

Jangan pernah menaruh rasa terlalu dalam jika tidak mau hatimu tergores luka yang teramat pedih—Galileo Akmal Wijaya

•••

"Apa-apaan ini? Nilai kamu cuma dapat segini?"
Suasana di rumah Nasya kali ini cukup mencekam. Adif tengah memaki-maki Nasya hanya karena sebuah angka.

Disana ada Helen, Rifkal, dan juga Darel. Tetapi mereka semua diam, tidak ada yang ingin menolong Nasya dari amukan Adif.

"Pa, Nasya udah berusaha sebisa mungkin..." jawab Nasya lirih dengan posisi menunduk.

Sebuah bola berukuran sedang menghantam kepalanya begitu keras, dan pelakunya ialah Adif, Papa kandungnya sendiri.

Nasya diam, ia menahan tangis. Hanya karena hal ini Adif selalu bersikap seperti ini. Belum juga ia mendapatkan cacian dari Helen yang sudah pasti sangat menusuk batinnya.

"BERUSAHA KATA KAMU? INI BERUSAHA?!" Adif membanting vas bunga berukuran sedang di hadapannya.

Lagi-lagi Nasya terkena lemparan. Tetapi yang kali ini berbeda, sebab bukan lagi bola melainkan pecahan dari vas bunga tersebut.

"Aku manusia, Pa. Aku juga bisa lelah," ujar Nasya.

Helen yang mula-mula masih diam kini pun mendekati tempat dimana Nasya duduk.

Plak

"Kamu capek? Lalu apa kabar sama kami, Nasya? Gila kamu!" Nasya membiarkan rasa sakit dari tamparan tersebut menjalar. Ia tersenyum tipis kala air matanya keluar tanpa diminta.

"Nasya pamit ke kamar dulu, Ma. Nasya ngantuk,"

Ia memutuskan untuk menghindar dengan alasan tersebut. Tetapi sebelum Nasya melangkah, Rifkal lebih dulu menarik rambutnya secara kasar.

"Nggak sopan! Ada orang bicara malah menghindar. Apa kamu tidak mempunyai tata krama?!" Helen mencekal pergelangan Nasya dengan kasar.

"Biarin aja, Ma. Sekalinya buruk tetap aja buruk," sahut Adif dengan menatap Nasya tajam.

Nasya berhenti di tempatnya. Lalu gadis itu meremas kuat bajunya hingga kusut. Tangannya gemetaran, akibat perlakuan kedua orang tuanya itu.

"Papa tanya, apa kamu tahu kesalahan yang kamu lakukan sampai-sampai kami jauhin kamu?" tanya Adif.

Nasya menggeleng sebagai jawaban. Ia tak mau mengucap sepatah katapun lagi dari bibir pucatnya.

"Kamu tidak bisa seperti apa yang kami harapkan. Nasya, coba pakai otak kamu sekali-kali. Lihat, kakak sama adek kamu, mereka nggak pernah mengecewakan, nggak kayak kamu!"

Beberapa kata yang diutarakan Adif itu sungguh membuatnya tersentak. Dadanya kembali sesak. Ia benci kata-kata itu. Dimana perbandingan yang tak pernah mau enyah dari kehidupannya.

Ini bukan soal dihargai atau tidaknya, karena ia pun yakin mereka mempunyai alasan yang lain untuk menjauhinya.

"IYA, KARENA AKU BODOH, PA! PUAS?!" Nasya menekan ucapannya. Ia terlanjur kesal dengan ucapan Adif yang sialnya adalah Papa kandungnya.

"Memang, memang kamu bodoh. Papa nggak habis pikir, padahal di keluarga ini semua tidak ada yang bodoh, cuma kamu doang!"

"TERUS AJA BANDINGIN NASYA!"

Tiba-tiba Helen ikut masuk ke dalam pembicaraan mereka. "Kalau nggak mau dibandingin, kamu cari cara dong, jangan kayak orang lemah!"

Nasya memejamkan matanya beberapa saat. Bulir-bulir bening seperti keluar dari matanya tanpa diminta.

NASYA STORY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang