33 - Bisakah Kita Seperti Dulu?

3K 72 1
                                    

Kalaupun pagi menghadirkan pelangi, mustahil bisa menciptakan senyum untuk mereka yang tak lagi menginginkan tawa—Nasya Viorella Stefanie

•••

Azar menggeleng kuat. Mungkin lebih baik ia menjelaskan seluruhnya. Agar tak ada salah paham lagi diantara mereka.

"Dengarin gue, Sya. Gue memang bukan orang baik, dan jauh dari kata itu. Tapi, sebelum semakin jauh, gue mau minta maaf sama lo atas semuanya. Terserah lo maafin atau enggak, itu urusan belakangan. Satu hal yang harus lo tau, gue menyesal karena udah nuduh lo yang bukan-bukan. Selama ini terlalu sakit buat lo, dan dengan bangganya gue selalu tertawa diatas kepedihan itu."

"Lo cewek baik, Sya. Langkah lo udah bener buat ninggalin gue. Setelah ini, lo bisa menghirup udara bebas tanpa gangguan. Dan, kalau perlu gue bakal pindah kelas. Tapi, Sya, tolong kasih tau sama gue. Apa yang harus gue lakuin buat nebus kesalahan?"

Azar beranjak dari duduknya. Lepas itu tubuhnya merosot ke bawah. Hati Nasya berdesir hebat ketika melihat perjuangan Azar. Namun, apa yang pernah lelaki itu perbuat sangatlah fatal. Dan tercatat sebagai memori buruk selama hidupnya.

Gadis itu menahan lengan Azar, guna menahan agar lelaki itu bersikap sewajarnya saja. Lagipula cafe siang itu terpantau cukup ramai pengunjung. Jika ada yang dengan sengaja melihat interaksinya dengan Azar, apa yang harus ia lakukan?

"Bangun, jangan berlebihan, Zar." perintah Nasya.
Kemudian selepas Azar kembali ke tempat semula, Nasya langsung bungkam. Masih ingin mendengarkan kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut Azar.

"Sekarang gue boleh tau jawabannya?" tanya Azar berani. Sebab ia pun menyadari bahwa waktunya tak lagi banyak untuk berbicara empat mata dengannya.

Untuk sebentar saja, Nasya memejamkan matanya. Menahan rasa sesak dalam dadanya. Selain itu, keringat dingin mulai membasahi dahinya. Bukan karena grogi, tapi gejala penyakitnya kambuh lagi. Ia jengkel setengah mati. Mengapa gejala ini muncul tidak tahu tempat?

Perasaan dendam perlahan hilang. Pintu hatinya terbuka pelan-pelan. Walau masih ragu, mungkin Nasya akan mencoba memperbaiki keadaan.

"Gue udah maafin lo, Azar." ujarnya sebagai balasan.

Mata elang lelaki itu berbinar. Dirinya senang bukan main. Nasya sendiri pun tak ingin memiliki dendam dengan siapapun sebenarnya, namun kedatangan orang pembawa sial silih berganti, membuatnya bingung dengan orang sekitar.

"Makasih, Sya. Nggak tau lagi harus dengan cara apa gue balasnya—"

"Lo udah gue maafin. Sekarang ada urusan lagi?" tanya Nasya memastikan. "Jangan khawatir, sekarang kita adalah teman, Zar." Perlahan senyumnya mengembang tanpa persetujuan.

Walau hubungan mereka membaik, dan sebutan di antara keduanya adalah sosok teman, Azar rela.

"Sya, gue mau ngungkapin sesuatu tapi lo jangan marah, ya?"

"Yaudah ngomong aja," kata Nasya, masih sibuk dengan ponselnya.

Azar tersenyum kecut. Walaupun sudah mendapatkan maaf, tetapi lelaki itu yakin bahwa sepenuhnya Nasya belum bisa memaafkan.

"Sebenarnya gue sayang sama lo dari lama. Tapi rasa itu terhalang sama ego dan pikiran yang nggak seimbang, jatuhnya kayak benci."

Sungguh hebat, ucapan Azar telah menciptakan getaran dalam jiwanya. Ini adalah impian Nasya sewaktu dulu. Dimana ia mempunyai kekasih yang sama-sama ingin diperjuangkan dan mau memperjuangkan.

Tapi Azar telat. Seiring berjalannya waktu, Nasya menghapus semua keinginan konyol itu.

"Kalaupun ada kesempatan, gue mau memperbaiki. Itupun juga kalau kita punya pikiran yang sejalan."

NASYA STORY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang