Part 18: Gerhana Bulan

550 75 8
                                    


Ibu Artitthaya sampai di kota pelabuhan Kerajaan Utara. Ia pergi ke Utara menggunakan kapal milik keluarga Thirat dan ditemani oleh beberapa pelayan setianya. Itu adalah kali pertama bagi ibu Artit menginjakkan kaki di wilayah Utara. Ternyata wilayah Utara begitu indah, tidak seperti yang ada dalam pikirannya karena dari dulu ia telah didoktrin bahwa wilayah Utara adalah medan perang.

"Selamat datang di Kerajaan Utara, Nyonya Thirat. Perkenalkan saya Panglima Asnee yang ditugaskan oleh Adipati untuk menjemput nyonya.", ucap Panglima Asnee yang menyambut kedatangan ibu Artit.

"Lebih baik kita segera menuju istana agar tidak tiba disana larut malam, nyonya.", Panglima Asnee mengulurkan tangannya untuk membantu ibu Artit naik ke atas kereta kuda.

Ibu Artit tersenyum pada Asnee sembari menyambut uluran tangannya. Sepanjang jalan, ibu Artit terpana akan keindahan alam di Utara, terutama ketika melewati padang rumput yang nampak sangat asri.

Ibu Artit yang sedang dalam perjalanan menuju istana belum menyadari bahwa anaknya kini sedang mengalami kontraksi hebat setelah air ketubannya tiba-tiba pecah.

Bidan dan tabib istana memperkirakan bahwa Artit akan melahirkan beberapa minggu kedepan, namun ternyata anaknya ingin lahir lebih cepat. Kini ruangan dalam pavilion Permaisuri dipenuhi oleh suara rintihan Artit. Kali ini adalah suara rintihan kesakitan.

Artitthaya berusaha menahan rasa sakit pada perutnya yang menjalar ke pinggang hingga ke punggungnya. Karena menahan rasa sakit dengan sekuat tenaga, Artit sampai mengeluarkan keringat dingin. Namun, bidan masih meminta Artit untuk bertahan karena pembukaannya belum maksimal.

"Huhuhuuuu... Sam... Sakitt...", tangis Artitthaya pada suaminya.

"Maafkan aku, istriku...", Sam mengucapkan maaf berulang-ulang sembari menggenggam tangan Artit, karena tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengucap maaf telah membuat Artit berada dalam kondisi seperti itu. Jika ia bisa memilih, Sam akan memilih untuk tidak memiliki keturunan daripada harus melihat istri yang ia cintai merintih kesakitan. Rintihan Artit membuat Sam takut. Seorang Sam Phraya yang tidak pernah memiliki rasa takut di medan perang sekalipun, kini merasa ketakutan setengah mati, yaitu rasa takut kehilangan Artitthaya. Sam merasa takut setiap kali mendengar istrinya merintih kesakitan apalagi ketika melihat darah yang mengalir keluar dari bagian bawah Artit.

"Adipati. Persalinan akan dimulai sekarang. Apakah Adipati akan berada disini atau menunggu diluar?", ucap sang bidan.

Artitthaya menyuruh Sam untuk keluar. Karena Artit menyadari bahwa Sam ketakutan. Artit dapat melihat raut wajah suaminya yang pucat pasi dan meneteskan keringat dingin. Tangan Sam yang menggenggam tangannya juga terasa dingin.

"Keluar Sam."

"Aku gak akan meninggalkanmu.", Sam melihat darah telah membasahi tempat tidur Artit dan raut wajah Sam nampak semakin ketakutan.

"Melihatmu disini malah membuatku semakin takut. Keluarlah.", ucap Artit.

"Tapi Artitthaya... Berjanjilah padaku kamu akan baik-baik saja."

Artitthaya tersenyum tipis, "Aku janji anak kita akan lahir dengan selamat."

Kemudian Sam menunggu di luar. Ia tidak tahu apa-apa lagi selain mendengar suara Artit yang mulai berteriak dan suara bidan yang mengatakan.

"Dalam hitungan ke-3, dorong... Satu... Dua...Tiga."

Begitu terus berulang kali beriringan dengan suara teriakan Artit yang tertahan.

Di luar, matahari telah terbenam dan penerangan di langit digantikan oleh cahaya bulan.

Ibu Artit telah sampai di ibukota Kerajaan Utara dan kini sedang dalam perjalanan menuju ke istana. Ketika sedang melihat ke arah pasar yang dilaluinya melalui jendela kereta kudanya, tiba-tiba langit menggelap.

Sam Phraya mendongak ke langit dan melihat cahaya bulan yang perlahan tenggelam. Cahaya bulan tertutup oleh sesuatu yang berwarna hitam. Fenomena alam yang disebut gerhana bulan.

Sam tiba-tiba teringat akan cerita Artitthaya yang mengatakan bahwa seorang cenayang pernah berkata bahwa ia melihat gerhana bulan sebagai pertanda buruk. Benarkah ramalannya menjadi kenyataan?

Sam masih mendengar suara teriakan Artitthaya yang masih berusaha mengeluarkan bayinya. Tangan Sam berpegangan pada sebuah pagar kayu pembatas balkon pavilion. Kedua tangannya gemetar. Di tengah kegelapan gerhana bulan itu, kegelapan yang menyelimutinya diiringi oleh suara teriakan kesakitan istrinya dan juga suara lolongan dua serigala peliharaannya.

Tubuh Sam kaku, lidahnya kelu dan kakinya terasa lemas. Seluruh tubuhnya mati rasa dan gemetaran. Ia tidak pernah merasa setakut itu seumur hidupnya. Sam terhuyung ke samping dan hampir terjatuh.

Seorang pengawal yang berdiri di sampingnya menahan tubuh Sam, "Adipati. Apakah Yang Mulia baik-baik saja?"

Sam memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja. Meskipun sebenarnya tidak. Itu adalah malam paling mengerikan di sepanjang hidupnya.

Akhirnya cahaya bulan perlahan kembali nampak. Gerhana bulan itu hanya berlangsung tak lama. Ketika perlahan bayangan hitam yang menutupi bulan mulai menggeser, kembalinya cahaya bulan beriringan dengan suara tangisan bayi yang nyaring.

Sam langsung berlari masuk ke dalam kamar begitu mendengar suara tangisan bayinya. Arah matanya langsung tertuju pada Artit yang terbaring lemas di atas tempat tidur dengan napas terengah-engah. Sam langsung menghembuskan napas penuh kelegaan karena melihat istrinya baik-baik saja.

Sam berlutut di samping tempat tidur Artit sembari merapikan rambut istrinya yang lengket di wajah karena keringat.

"Terima kasih. Terima kasih, istriku. Terima kasih.", Sam berkali-kali mengucapkan terima kasih sembari mengecup dahi Artit karena istrinya itu masih bertahan hidup meskipun melalui ambang hidup dan mati.

"Selamat, Yang Mulia Adipati dan Permaisuri. Seorang pangeran tampan yang sempurna.", ucap sang bidan sembari menggendong bayi yang baru dilahirkan itu. Ia menyerahkan bayi yang telah dibersihkan kepada Artitthaya.

Artitthaya berusaha duduk di atas tempat tidurnya dengan dibantu oleh Sam agar dapat menimang bayinya. Artit menatap bayi yang ada pada dekapannya sembari menitikkan air mata. Tapi kini bukan menangis karena kesakitan. Rasa sakitnya hilang seketika saat melihat putranya lahir sehat tanpa cacat.

Sam kembali berterima kasih pada Artit. Ia yang menyaksikan pengorbanan istrinya dari sejak mengandung hingga melahirkan hanya demi memberinya keturunan. Kini Artitthaya telah memberikan keturunan yang sempurna. Tidak ada lagi yang diinginkan oleh Sam selain kebahagiaan keluarganya. Hidupnya telah lengkap.

"Terima kasih, istriku..."

"Anak kita. Ini benar-benar anak kita, kan?", Artitthaya terus tersenyum dan masih tak percaya.

"Iya. Kamu baru saja melahirkannya."

Artitthaya memberi kecupan lembut di dahi bayi mungilnya yang sudah tidak menangis karena berada dalam dekapan sang ibu.

"Kamu ingin memberinya nama siapa?", tanya Artit.

"Pangeran Ramchara Phraya."

Ibu Artit bersama rombongan prajurit yang menjemputnya telah sampai di depan pintu istana.

Dug... Dug... Dug...

Terdengar bunyi yang berasal dari alat musik pukul yang terbuat dari kulit kerbau.

Sontak para prajurit berteriak bersamaan "YEEEE!!"

Ibu Artit langsung membuka jendela kereta kudanya dan mengeluarkan kepalanya untuk bertanya pada Panglima Asnee yang menunggang kuda di sampingnya. "Ada apa, Panglima Asnee? Bunyi itu pertanda apa?"

"Pertanda seorang Pangeran telah lahir, Nyonya Thirat."

The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang