Part 19: Bunga Dari Timur

505 73 2
                                    


Kasim Artit yang berdiri di depan pintu pavilion Permaisuri meminta izin untuk masuk. Kasim adalah pelayan pribadi Artitthaya yang paling dekat. Meskipun seorang kasim adalah pria alfa, tetapi ia diperkenankan untuk memasuki kediaman Permaisuri dengan leluasa karena telah kehilangan kemampuan untuk memiliki keturunan.

"Permisi Adipati dan Permaisuri. Ibunda Permaisuri telah menunggu di luar.", ucap sang kasim.

"Apa yang kau tanyakan lagi? Langsung saja biarkan ibuku masuk.", jawab Sam.

"Baik, Adipati."

Artitthaya masih terduduk di atas tempat tidurnya, karena ia belum bisa bangun. Ia melihat sosok ibunya dari balik pintu. Ibu yang tidak dilihatnya selama hampir tiga tahun lamanya.

"Artitthaya...", ucap Nyonya Thirat yang langsung menangis begitu melihat putranya.

Sam langsung berdiri di samping tempat tidur Artit dan memberikan tanda agar ibunya duduk di sebelah Artit.

"Salam ibu.", ucap Sam. Ini adalah kali pertama Sam bertemu langsung dengan ibu mertuanya. Memang terasa ganjil, karena ia telah menikahi Artitthaya selama hampir tiga tahun dan baru kali ini berjumpa dengan orang yang melahirkan istrinya itu. Itu karena pernikahannya dengan Artitthaya sangat diluar dugaan.

"Salam Adipati Sam Phraya.", jawab ibu mertuanya sembari menundukkan kepala untuk memberi hormat. Meskipun anak mantunya sendiri, tetapi jabatan Sam adalah yang tertinggi di Kerajaan Utara.

Nyonya Thirat duduk di samping Artitthaya dan langsung mencium pipi putranya itu.

"Selamat, anak ibu..."

"Ibunda... Lihatlah cucumu.", ucap Artitthaya sembari menunjukkan bayi yang ada dalam dekapannya.

Nyonya Thirat menggendong cucu pertamanya itu. "Sangat mirip denganmu ketika masih bayi, anakku."

"Tuh kan apa kataku, Ramcha lebih mirip denganku.", ucap Artitthaya pada suaminya yang sedang berdiri di samping tempat tidurnya.

Sam hanya tersenyum sembari mengangguk pada Artit dan mertuanya. Ia tak membantah karena memang putranya sangat mirip dengan Artitthaya. Tak apa, justru Sam sangat senang karena kini wajah orang tercintanya bertambah satu. Wajah yang dikatakan pepatah terlahir sekali di bulan biru, dalam artian sangat jarang terjadi. Sedangkan putranya dapat disebut sebagai pangeran dengan wajah rupawan yang terlahir di tengah gerhana bulan.

"Ramcha?", tanya ibunya pada Artit.

"Nama panggilan cucu ibunda. Sam yang memberinya nama Ramchara Phraya."

"Nama yang bagus. Oh, iya Adipati Sam Phraya. Ibu membawakan titipan dari ayah dan ibumu sebagai hadiah kelahiran. Sepertinya masih bersama barang-barang ibu di kotak."

"Terimakasih ibu, biarkan pelayan yang mengambilnya. Dan tolong cukup panggil saya Sam. Ibu baru saja menempuh perjalanan jauh ke Utara, alangkah baiknya ibu beristirahat terlebih dahulu."

"Benar apa yang dikatakan Sam, ibu.", ucap Artitthaya.

Nyonya Thirat memang merasa kelelahan begitu sampai di istana. Ia telah menempuh perjalanan di tengah laut selama lebih dari satu bulan lamanya, meskipun juga sempat singgah di beberapa wilayah untuk beristirahat.

"Baiklah. Ibu istirahat dulu ya. Selamat malam."

Lalu, omega pria itu pergi meninggalkan pavilion putranya.

Bayi Ramcha sedang tertidur pulas. Belum bangun. Biasanya seorang bayi akan terbangun di tengah malam.

Artit menoleh pada suaminya. "Kamu gak kembali ke pavilionmu?"

The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang