Part 25: Peperangan

406 65 5
                                    



Pasukan Kerajaan Keenam yang berada di wilayah Kerajaan Barat Laut langsung menyerang wilayah Utara begitu mendapat perintah dari Raja Prasat. Terjadilah peperangan antara prajurit Kerajaan Utara dengan Kerajaan Barat Laut.

Tentu saja pasukan yang dikirim oleh Kerajaan Barat Laut tidak sebanding dengan pasukan Kerajaan Utara. Mereka menyadari pasti akan kalah dengan Utara, tetapi Raja Prasat memiliki rencana lain.

Seorang asasin bawahan Raja Prasat yang memiliki kemampuan untuk mengendap-endap seperti bayangan telah berhasil memasuki kawasan dalam istana Kerajaan Utara. Saat itu, Sam Phraya tengah disibukkan mengatur strategi perang melawan pasukan Kerajaan Barat Laut, sehingga tak terlalu memperhatikan istrinya.

Seorang asasin kini telah berhasil mencapai pavilion Artit dan berusaha untuk membunuhnya. Namun, Artitthaya dijaga oleh kedua serigala raksasa yang berdiri di samping kiri dan kanan Artit. Kedua serigala itu sudah menampakkan taringnya dan siap menerkam asasin itu kapan saja begitu diizinkan oleh Artit. Lagipula Artitthaya juga tidak lemah, meskipun kemampuan bela dirinya melemah karena sudah lama tidak dilatih ketika dirinya mengandung dan merawat bayinya.

Asasin itu bukan menghadapi Artitthaya tanpa rencana. Ia menunjukkan sebuah kain sapu tangan yang memiliki lambang rusa dan bunga mawar di ujungnya. Artitthaya langsung mengenali kain sapu tangan itu adalah milik ibunya. Ia sendiri yang menjahit untuk diberikan pada sang ibu.

Artitthaya tersujud lemas karena jika asasin itu memiliki barang milik ibunya, berarti ibunya... Bagaimana dengan keadaan putranya? Pikiran Artitthaya kalang kabut. Artitthaya tenggelam dalam rasa takutnya dan menangis tersedu-sedu. Saat itulah asasin itu berusaha menyerang Artitthaya yang sedang terpuruk dalam kesedihan.

Tetapi dua ekor serigala peliharaan Artitthaya langsung maju untuk menerkam asasin tersebut. Sang asasin berusaha melawan dua serigala itu dengan pedangnya. Seekor serigala yang bernama Chaya terkena pedang sang asasin dan perutnya terbelah. Meskipun telah diambang kematian, Chaya masih sempat menggigit leher asasin itu yang membuat sang asasin tidak dapat menyelamatkan diri lagi. Begitu pula Thaya yang juga turut mengoyak leher asasin itu hingga sang asasin tak bernyawa lagi. Tetapi luka yang dialami oleh Chaya membuat serigala itu mati. Thaya berusaha untuk membangunkan Chaya tetapi tidak bisa, sehingga serigala itu kembali pada Artit yang masih tersujud.

Artit menangis sembari memeluk Thaya. Lalu Artit langsung melangkahkan kakinya menuju kandang kuda. Ia menunggang kuda miliknya, diikuti oleh Thaya yang ikut berlari di belakang kudanya. Kemana Artitthaya ingin pergi? Entahlah ia tidak tahu lagi, isi pikirannya hanyalah ingin pergi ke Kerajaan Timur saat itu juga untuk menyelamatkan putranya, meski ia tak tahu apakah putranya masih hidup.

Sebelum peperangan di Utara terjadi, Permaisuri Muang bersama putrinya diam-diam pergi ke wilayah Selatan. Permaisuri Muang meminta untuk bertemu dengan Raja Prasat dan Ratu Ayut Lan.

"Yang Mulia, saya mengetahui dimana keberadaan ibu mertua, adik, dan juga putra Sam Phraya. Mereka tidak berada di wilayah Utara.", ucap Permaisuri Muang ketika telah berada di dalam ruangan Raja Prasat.

"Katakan dimana?!", ucap Prasat dengan nada memerintah.

"Jika saya mengatakan keberadaan mereka, saya mohon agar Yang Mulia mengampuni nyawa keluarga saya dan mengampuni nyawa suami saya. Kami tidak berniat untuk menentang Yang Mulia. Hanya saja suami saya terikat pada janjinya untuk menolong kakaknya."

"Kalian akan aman dalam perlindunganku, asal kalian tidak berbohong padaku."

"Saya bersumpah, Yang Mulia. Tetapi ada satu lagi permintaan saya.", ucap Permaisuri Muang.

Raja Prasat pun sudah tidak sabar karena wanita itu malah melunjak, padahal belum mengatakan dimana keberadaan putra Sam Phraya yang diincarnya.

"Apa lagi yang kau inginkan?"

"Tolong Yang Mulia menikahi putri saya, Suttida. Karena kini putri saya sedang mengandung anak Yang Mulia."

Raja Prasat langsung terkejut dan nada bicaranya melembut. Bagaimana pun, ia benar-benar memiliki perasaan pada Suttida. "Benarkah kamu sedang mengandung anakku, kekasihku?, tanya Raja Prasat pada Suttida.

"Iya, Yang Mulia.", jawab Suttida sembari menundukkan kepalanya.

"Apa yang kalian tunggu?", sela Ratu Ayut Lan. "Permaisuri Muang. Aku akan menjadikan putrimu Ratu dan anak yang dilahirkannya akan menjadi penerus tahta Kerajaan Keenam. Tetapi kau harus mengatakan dimana keluarga Sam Phraya bersembunyi?"

Permaisuri Muang tersenyum gembira karena penawarannya berhasil, "Mereka bersembunyi di rumah istirahat milik Adipati di Kerajaan Timur. Saya akan menunjukkan dimana tempat itu pada Yang Mulia."

Begitulah bagaimana akhirnya Raja Prasat mengirim sekelompok pembunuh ke rumah istirahat di Kerajaan Timur. Adipati Chai Muang tidak tahu bahwa tempat tinggal kakaknya sedang diserang, karena istrinya mengalihkan perhatian Chai Muang.

Adipati Chai Muang disibukkan dengan lamaran Raja Prasat yang menginginkan putrinya untuk menjadi Ratu Kerajaan Keenam. Sehingga Chai Muang terlalu sibuk mengurus pernikahan putrinya dan tak memperhatikan apa yang terjadi pada kakaknya.

Para prajurit yang ditempatkan di rumah istirahat untuk melindungi Nyonya Thirat telah dibantai habis oleh sekelompok asasin kiriman Raja Prasat.

"Pergi! Kau pergi bawa cucuku! Aku akan berusaha menahan mereka semampuku. Meski tak lama.", Nyonya Thirat mendorong Suda Phraya untuk kabur dari rumah istirahat dengan membawa bayi Ramcha.

Nyonya Thirat mengeluarkan pedangnya dan berusaha melawan para asasin, meski kekuatannya tak sebanding dengan sekelompok prajurit yang khusus dilatih untuk membunuh dan menjadi pengintai.

Suda Phraya berlari sekuat tenaga di tengah hutan dengan menggendong bayi Ramcha yang terus menangis. "Mengapa kamu tidak berhenti menangis, nak? Hssst hsstt tenang, sayangku...", Suda berusaha menenangkan Ramcha yang terus menangis. Ia tidak bisa berhenti berlari karena tak dapat bersembunyi akibat suara tangisan Ramcha.

Sekelompok asasin itu berhasil mengejar Suda dan mengepungnya. Suda yang tersudut tidak punya cara lain selain menghunuskan pedangnya untuk membela diri. Ketika para asasin itu hendak menyerang Suda, tiba-tiba sekumpulan anak panah yang entah datang darimana memanah para asasin yang mengelilingi Suda.

Suda melihat sekelilingnya, "SIAPA?!", lalu seseorang entah siapa memukul tengkuk Suda dari belakang dan membuatnya pingsan tak sadarkan diri. Begitu terbangun, bayi Ramcha sudah tidak berada di tangannya.

"RAMCHA!! RAMCHA!! RAMCHARA!!", Suda berteriak dan mencari kesana kemari, tetapi keponakannya itu menghilang.

Setelah berhasil membunuh ibunda Artitthaya, Raja Prasat langsung mengirimkan pasukan yang telah berada di Kerajaan Barat Laut ke Utara untuk melaksanakan rencananya. Sejak awal yang diincar oleh Raja Prasat bukanlah wilayah Utara, tetapi Artitthaya. Karena ia tahu kelemahan Sam Phraya berada pada Artitthaya. Setangguh apapun Sam Phraya, apa yang akan terjadi padanya jika ia kehilangan seluruh orang yang dicintainya?

Artitthaya masih menunggangi kudanya sembari berlari menuju pelabuhan untuk pergi ke Timur. Tetapi, Artitthaya harus melewati medan perang. Saat itu, kaki kuda yang ditunggangi oleh Artitthaya terkena anak panah dari pasukan Kerajaan Barat Laut, sehingga kudanya terjatuh. Ia dan kudanya terjatuh bersama ke sebuah tebing. Artitthaya terguling-guling menuruni tebing, lalu menghantam sebuah batu raksasa yang membuatnya hilang kesadaran.

Sam Phraya mendatangi pavilion Artit untuk menemui istrinya itu malah menyaksikan darah berserakan dimana-mana dan melihat mayat seorang asasin dan seekor serigala.

"ARTITTHAYA!!", Sam langsung berteriak dan mengambil kudanya untuk mencari dimana keberadaan Artit.

Ketika Sam akan menunggang kudanya, nampak dari kejauhan seekor serigala datang menghampiri Sam. Serigala itu mengeluarkan suara, seperti suara tangisan seekor anjing yang ketakutan. Serigala itu menggigit pakaian Sam Phraya, lalu menarik-nariknya.

"Apa kau ingin aku mengikutimu?", Sam Phraya naik ke atas kudanya dan berlari mengikuti Thaya yang berlari di depannya, entah ingin membawanya kemana.

Sam yang diikuti oleh prajurit di belakangnya sampai di tepi tebing dekat sungai. Thaya langsung melompat menuruni tebing untuk menunjukkan pada Sam.

"ARTITTHAYA! ARTITTHAYA!! HUHUHU ISTRIKUUU!!", teriakan Sam yang terdengar pilu menangisi istrinya yang terluka dan tak sadarkan diri.

The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang