Part 20: Kejatuhan

501 74 4
                                    


Sudah dua bulan lamanya pasca Artit melahirkan putranya. Tidak mudah untuk mengurus seorang bayi apalagi itu adalah kali pertamanya. Untungnya ada ibunya yang membantunya.

"Ibunda tidak kembali ke Selatan?", tanya Artit pada ibunya yang sedang menimang bayi Ramcha untuk menidurkannya.

"Apa kau ingin ibumu cepat pergi?"

"Bukan itu maksudku. Memangnya ibu tidak merindukan ayah?"

"Ayahmu malah menyuruh ibu agar tidak cepat-cepat kembali. Katanya sayang sudah menempuh perjalanan jauh. Kau juga masih perlu bantuan ibu untuk mengurus Ramcha kan?"

"Benar juga, masih banyak yang perlu kupelajari dari ibunda."

"Ibu sudah putuskan akan tinggal disini sampai Ramcha bisa merangkak. Nanti lebih mudah mengurusnya kalau anakmu sudah lebih besar. Oh ya, malam ini Ramcha tidur sama ibu ya?"

"Iya ibunda."

Artitthaya membiarkan ibunya itu untuk menghabiskan waktu bersama sang cucu sebelum kembali ke Selatan, karena pasti akan sulit untuk bertemu lagi. Lalu Artit pergi meninggalkan putranya bersama ibunya dan menemui suaminya.

Sam Phraya sedang berada di ruang kerjanya. Banyak tumpukan kertas berupa laporan-laporan dari tiap daerah yang perlu ia baca. Sudah seharian Sam duduk di ruang kerjanya.

Artit datang untuk membawakan teh bagi suaminya yang terlihat lelah. Ia memijat leher dan tengkuk suaminya.

"Kalau capek istirahat dulu, suami. Aku bawakan teh dan camilan."

"Sepertinya aku tidak akan tidur malam ini.", ujar Sam sembari meregangkan persendiannya, serta memutar lehernya yang pegal.

"Kamu sih dari kemarin bukannya nyicil kerjaan malah main sama Ramcha terus."

"Habisnya anakku terlalu menggemaskan."

Sam yang masih duduk melingkarkan kedua lengannya di pinggang Artit. Ia memeluk erat Artit sembari memendam wajahnya di perut istrinya itu, seperti kebiasaannya ketika Artit sedang mengandung.

"Kok udah gak gembul?", tanya Sam.

"Kan anaknya udah keluar. Gimana sih ayah ini?"

"Oh iya."

Artitthaya mengelus-elus kepala hingga ke punggung suaminya. "Sam... Sampai kapan kamu mau memelukku? Sudah sana lanjut kerja, aku mau lihat Ramcha sudah tidur belum."

Sam mendongak untuk melihat Artit, "Ramcha sedang sama ibu, kan?"

Artitthaya mengangguk.

"Boleh gak malam ini kamu temani aku?", ucap Sam dengan nada yang memicu rasa iba Artit.

"Iya iya aku temani.", jawab Artit sembari tersenyum. Lalu senyuman di bibirnya langsung disambut oleh bibir Sam. Ia tiba-tiba berdiri dan menarik tubuh Artit agar masuk dalam dekapannya.

Sam memperdalam ciumannya. Lidah Artit terjulur keluar hingga menampakkan seutas saliva milik keduanya yang menyatu. Telah cukup lama suaminya tidak menciumnya seperti itu.

"Kukira kamu hanya ingin ditemani. Ahhh...", Sam menghisap leher Artit hingga membuat Artit melenguh karena rasa merinding yang berasal dari ceruk lehernya.

"Aku butuh....", ucap Sam yang tertahan. Artit sebenarnya tahu suaminya itu butuh apa. Sudah cukup lama Artit tidak memberi jatah pada suaminya sejak tahu dirinya mengandung. Ia takut jika melakukan itu akan berbahaya bagi kehamilannya.

"Lakukan Sam. Aku tahu kamu sudah lama menahannya."

"Tapi kamu masih sakit gak?", Sam masih bertanya lagi karena ia tak ingin memaksa jika Artit tak ingin.

The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang