Part 22: Perpisahan

582 80 3
                                        



Sam Phraya tengah menimang putranya. Malam itu adalah malam terakhir sebelum ia berpisah dari putranya. Sam memutuskan untuk mengirim pergi ibu mertua, istrinya, adiknya dan juga putranya ke Kerajaan Timur, karena cepat atau lambat pemberontakan yang dilakukan oleh Kerajaan Utara akan terdengar hingga ke seluruh penjuru negeri. Kerajaan Utara akan menjadi target serangan dari berbagai kerajaan untuk memperebutkan wilayah Utara. Sam harus menjaga agar keluarganya tetap aman, yaitu dengan mengirim seluruh keluarganya keluar dari wilayah Utara. Mengapa memilih Kerajaan Timur? Karena ibu Artitthaya adalah kakak dari Adipati Kerajaan Timur. Ibu mertuanya meyakini bahwa adiknya akan membantu melindungi mereka semua.

Sam menggoda anaknya seperti biasa dengan membuat raut wajah lucu dan juga dengan suara-suara menggemaskan yang membuat putranya tertawa. Kini putranya sudah semakin aktif bergerak. Anak itu kini sudah bisa tengkurap, bahkan sudah mulai bergumam, seperti 'mamama'. Sam menggendong putranya dengan satu lengan sebelah kirinya. Tangan kanannya mengelus wajah bayi Ramcha. Tangan mungil bayi Ramcha menggenggam telunjuk Sam, seolah-olah tak ingin berpisah dari ayahnya.

Artitthaya mendekati suaminya yang sedang berdiri di dekat jendela bersama putranya. Artit mencium bayi Ramcha dan mengelus putranya itu yang masih berada dalam dekapan Sam. Artit tak kuasa untuk menahan air mata agar tidak berjatuhan. Satu tangan Sam mengusap lembut air mata yang terjatuh di pipi Artit.

"Setelah keadaan sudah aman, aku akan menjemputmu dan Ramcha.", ucap Sam pada Artit, tetapi Artit menggelengkan kepala.

"Aku tidak akan meninggalkanmu. Ramcha akan kutitipkan pada ibu. Aku akan tetap disini bersamamu."

"Artitthaya... Pergilah ke Timur. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Kerajaan Utara. Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu."

"Aku tidak akan meninggalkan sisimu di masa sulitmu, karena itu adalah janjiku Sam.", lalu Artit kembali mencium putranya sembari menangis cukup keras. "Anakku tidak sendirian. Ada ibuku dan Suda yang pergi bersamanya."

Tangisan Artit membuat bayi Ramcha yang semula tertawa menjadi ikut menangis. Biasanya anak kecil memang lebih peka pada perasaan orang tuanya. Sam turut menitikkan air mata. Namun, ia hanya bisa mendekap istri dan putranya yang menangis.

Artit menimang putranya sembari melakukan tugasnya sebagai ibu sebelum berpisah dari anaknya. Ia memeluk putranya semalaman sembari tak kuasa menahan air matanya yang terus berjatuhan.

"Ibu pasti akan menjemput Ramcha. Tunggu ya, nak...", ucap Artitthaya sembari mengalungkan sebuah kalung berwarna hitam dengan liontin berbentuk persegi yang berukiran lambang keluarga Phraya, yaitu kepala seekor serigala dan dua pedang. Dibalik liontin itu tertulis nama 'Ramchara'.

Keesokan harinya, tibalah saat dimana Artitthaya dan Sam akan berpisah dari putranya. Artit menyerahkan Ramcha kepada sang ibu.

"Ibunda, aku titipkan putraku ya.", ucap Artit sembari mengecup dahi putranya sebagai perpisahan. "Tolong jaga Ramcha, ibunda. Aku mohon."

"Iya Artitthaya. Ibu pasti akan menjaga Ramcha. Kamu dan Sam berhati-hati ya nak.", Nyonya Thirat juga tak tahan dan ikut menangis.

"Aku juga pasti akan menjaga Ramcha seperti putraku sendiri, kak Sam dan kak Artit. Kuharap kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti."

Kereta kuda yang membawa Nyonya Thirat, Suda, dan bayi Ramcha telah pergi meninggalkan istana Kerajaan Utara. Artit dapat mendengar suara tangisan putranya yang semakin lama semakin tak terdengar karena semakin jauh.

Artitthaya berlari dan berusaha mengejar putranya yang telah dibawa oleh kereta kuda, tetapi ia terjatuh di tanah. Lama-lama kereta kuda itu tidak dapat dilihatnya lagi. Artit hanya bisa menangis hingga sesenggukan. "Anakku.... Maafkan ibu....", tangisnya sembari memeluk selimut milik putranya.

The ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang