Artitthaya tengah bersiap-siap untuk pergi meninggalkan rumahnya. Ia mengenakan pakaian serba putih dengan ukiran berwarna silver. Di masa itu, baju pernikahan identik dengan warna putih karena putih merupakan simbol kesucian. Warna tersebut juga melambangkan kemurnian dan kepolosan yang berarti seorang pengantin yang mengenakan pakaian berwarna putih itu datang dengan ketulusan hati untuk menjalani kehidupan baru bersama pasangannya.Seorang pria omega mendatangi kamar Artitthaya.
"Ibunda...", panggil Artit.
"Maafkan ibu Artit. Bukan maksudku bicara seperti kemarin. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Sesungguhnya, ibu takut terjadi sesuatu padamu jika kamu tidak menerima lamaran Putra Mahkota. Tapi sekarang kamu telah memilih pasanganmu. Ibu hanya bisa berharap semoga kamu bahagia senantiasa bersama keluarga barumu."
"Terima kasih ibunda. Apa yang ibu lakukan jika merindukan keluarga ibu yang ada di Timur?"
"Ibu selalu saling bertukar surat. Sampai sekarang aku masih sering menulis surat pada adikku di Kerajaan Timur. Kamu juga sering-sering berkirim surat ke ibu ya. Ibu pasti kesepian ditinggal anakku satu-satunya."
"Pasti ibunda..."
Ibunya memeluk Artit, lalu menggandeng lengan putranya menuju ruang tengah dimana ayah Artit telah menunggu disana. Artit melihat ayahnya telah membawa sebuah kain berbentuk persegi panjang yang berwarna putih transparan.
Ayah Artit dan istrinya memasangkan kain putih itu di atas kepala Artit.
"Aku memberikan harta milikku yang paling berharga, lebih berharga dari apapun. Jika dia menyia-nyiakanmu maka kembalilah ke Danau Lotus. Ayah bisa mengurus anak ayah satu-satunya."
"Semoga hal itu tidak akan terjadi, ayahanda. Kapan-kapan aku akan berkunjung ke Danau Lotus bersama suamiku.", ucap Artit.
Lalu kedua orang tuanya mengantar Artit untuk masuk ke dalam sebuah kereta kuda yang akan membawanya ke kediaman Menteri Phraya yang masih berada di ibukota.
"Hati-hati, putraku.", ibunya telah menitikkan air mata. Ayahnya tidak menangis dan melambaikan tangan padanya. Artit pun menitikkan air mata di balik kain putih yang menutupi wajahnya. Lalu kereta kuda itu berjalan menjauhi Danau Lotus.
Di kediaman Menteri Urusan Militer, Sam Phraya telah menunggu di depan pintu rumahnya. Tubuhnya dibalut dalam pakaian putih. Hari itu, ia menunggu pasangannya untuk datang kepadanya. Jantungnya berdegup kencang. Bahkan ia sampai mengeluarkan keringat dingin. Ia lebih cemas saat itu daripada ketika dalam perjalanan menuju medan perang.
Sam Phraya melihat kereta kuda yang ditumpangi Artit telah mendekat ke rumahnya. Di belakang kereta kuda itu diikuti oleh pelayan-pelayan keluarga Thirat yang membawa kotak-kotak berisi berbagai barang milik Artit.
Sam menggenggam tangannya yang gemetar, lalu ia mengulurkan tangannya di depan pintu kereta kuda yang telah sampai di hadapannya. Sebuah tangan meraih uluran tangan Sam. Ia pun menggenggam tangan itu dengan erat untuk membantu orang yang mengenakan penutup kepala itu turun dari kereta kudanya.
Keduanya berjalan menuju aula utama yang ada di kediaman Menteri Phraya. Sang menteri beserta istrinya telah duduk di kursi yang ada di atas sebuah panggung yang berada di ujung aula.
Sam masih menggandeng tangan pasangannya itu, lalu mereka pun bersujud bersama untuk memberi hormat pada kedua orang tua Sam.
"Selamat datang di keluarga kami.", ucap ayah Sam Phraya.
"Terima kasih, Tuan Menteri.", jawab Artit.
"Kamu disini bukan sebagai kepala Biro Kepolisian tetapi sebagai pasangan dari putraku. Panggil saja aku ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Throne
Ficción histórica[SingKit] ⚠️OMEGAVERSE (A/B/O), 21+⚠️ Pada suatu benua yang berada di belahan Bumi bagian utara, terdapat 6 pulau yang memiliki 6 kerajaan dengan wilayahnya masing-masing. Hingga seseorang berhasil menyatukan keenam kerajaan menjadi satu kerajaan ya...