Chap21

24 6 0
                                    

Happy reading!
.
.

.....

"Mark ngapain ke rumah sakit? Katanya ngajak bolos." Rain mengikuti langkah di depannya dengan tergesa, langkah Mark benar-benar besar.

"Mau ketemu seseorang."

"Temen lo sakit? Tante Dita sakit? Atau papa lo? Atau Michelle adek lo?"

Lelaki itu menoleh ke arah Rain dan menyentil dahi gadis itu sekilas, "Bukan anjir, pokoknya gue jamin deh lo mau ketemu ni orang."

"Siapa sih?"

Mark berhenti saat mereka sampai di salah satu ruangan dengan nomor 251. Rain mengerenyitkan dahinya saat lelaki setahun lebih tua darinya itu membuka kenop pintu dan mengajaknya masuk.

"Nih gue bawain makanan." Mark menaruh paper bag berwarna coklat yang berisi makanan itu di meja ruangan.

Seorang lelaki dengan kaos putih polos, celana jeans panjang dan rambut acak-acakan kini menoleh ke arah Mark.

"Makasih."

Rain masih membeku melihat sosok di depannya, lelaki itu beralih menatapnya dan tersenyum tipis. Lebih dari itu, ia terkejut pada sosok wanita yang kini terbaring dengan mata terpejam tak jauh dari mereka.

"Lathan?"

Lelaki itu mengangguk, "Kita bicara diluar, Mark bisa titip mama bentar?"

Mark mengangguk, "Aman."

........

Dan disinilah kini mereka, di rooftop rumah sakit dengan keheningan yang menyelimuti keduanya bahkan setelah beberapa menit berada di sana.

"Tadi itu mama."

Rain menoleh, tidak mengatakan apapun tapi menatap sosok yang kini duduk di sebelahnya. Kantung mata yang menghitam dan penampilan acak-acakan Lathan sudah cukup menjelaskan keadaan lelaki itu belakangan ini.

"tumor otak." Lelaki itu menghela nafas sebelum melanjutkan, "stadium akhir."

Rain terdiam, ia terkejut. Sangat. Tapi yang ia lakukan hanya menunduk, tidak melakukan apapun untuk Lelaki itu, karena ia tau. Bahkan apapun yang Rain punya tidak bisa menyembuhkan luka milik Lathan.

"Sejak kapan dirawat?"

"Waktu gue nyuruh cewek gue nunggu dua hari, tapi gue ingkar janji."

Rain menunduk dalam, benar kata Melody, Rain memang terlalu buta. Gadis itu seharusnya selalu bertanya tentang hal yang terjadi dengan Lathan. Harusnya ia juga memaksa Lathan bercerita saat lelaki itu mengaku tidak baik-baik saja.

Rain yang masih dengan seragam sekolah yang dibalut sweater itu kini mendekat ke arah Lathan. Tangan gadis itu merangkul bahu yang kali ini terlihat sangat rapuh. Menepuk punggung kokoh milik Lathan yang biasa selalu bergetar karena tawa itu. Menatap wajah lelaki yang biasa terlihat tengil dipenuhi lawakan garingnya.

Rain memeluk lelaki itu sebelum berujar, "Makasih udah cerita, Lathaniel."

.......

Kedua remaja yang baru saja turun dari rooftop itu kembali memasuki ruangan yang sejak tadi mereka tinggalkan.

"Mark kalo mau pulang duluan aja gapapa." Rain menepuk pelan bahu lelaki yang terbaring di sofa itu.

Mark mengangguk, "Gue pulang ya, besok gue balik lagi. Soalnya Michelle sendiri dirumah."

Rain mengangguk, Lathan melambaikan tangan sekilas dan berucap, "Makasih Mark."

"Santai aja." Ucapnya lalu mendekat ke brankar, "Cepat sembuh Tante."

"Rain udah makan?" Lathan kembali memecah keheningan setelah Mark menghilang dibalik pintu.

Gadis itu mengangguk, "Udah."

"Sini." Lelaki itu menepuk bangku kosong di sebelah brankar.

Rain mendekat, duduk di sana dan menatap lebih dekat sosok wanita yang terbaring damai disana.

"Mama lo, cantik."

"Lo juga."

"Katanya dia mau ketemu Rain," lanjut lelaki itu.

Rain tersenyum, "Oh ya?"

Lathan mengangguk, "Gue bilang dia harus sembuh dulu, tapi ngeyel gak mau bangun jadi dibawain deh Rain-nya."

Rain kembali tersenyum dan meraih tangan wanita di depannya itu yang terbalut selang infus.

"Hai Tante, ini Rain. Kata Lathan, tante mau ketemu Rain." Gadis itu terpejam sebentar untuk menahan bulir bening yang ingin memaksa keluar dari matanya, "Ayo bangun, Rain juga mau kenalan sama Tante."

"Rain."

Panggilan dari Lathan membuat gadis itu menoleh dengan tatapan bertanya,"Ya?"

"Maaf."

"Kenapa?"

"Karena nggak cerita, sekarang gue ngerti. Punya seseorang yang bisa dijadiin tempat cerita ternyata setenang ini."

Rain mengangguk dan tersenyum tipis, "Makasih."

"Untuk?"

"Karena Lathan-nya gue udah sekuat ini."

"Apa Rain? Gak denger?" Tanya lelaki itu sambil mengulum senyumnya.

"Haha apaasih!"

Lathan tersenyum lebih lebar kali ini, "Akhirnyaaa gue diakuin, Ma denger ma."

Gadis di sebelahnya terkekeh dan menepuk pelan bahu Lathan, "Berisik."

"Btw, Lathan gantian sama siapa jagain?"

"Papa, tapi gue nyuruh dia pulang karena ada urusan penting di kantor."

"Ehm, adik lo?"

Lathan sedikit terkejut, "Adik?"

Rain mengangguk, "Kata kak Alivia lo punya adik."

"Tau namanya?"

Rain menggeleng, "Sebenernya Kak Alivia nggak bilang gitu, cuma waktu itu gue jalan sama dia dan ada telepon dari Lathan tapi suaranya beda."

Lathan mengangguk, "Oh dia lagi keluar."

"Nanti kalo ketemu gue kenalin." Lanjutnya yang dibalas anggukan oleh gadis itu.

Rain menatap ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 2 siang. Sebentar lagi Hendery pasti akan menjemputnya di sekolah.

"Ayo gue anterin pulang." Lathan bangkit beranjak dan mengambil kunci motornya di nakas.

"Nggak perlu, nanti siapa yang jagain?"

"Gapapa ditinggal bentar, ada perawat."

"Nggak bisa gitu Lathan, gue bisa minta jemput kak Dery." Gadis itu menunjukkan ponsel miliknya, "Gapapa kalo gue bilang gue disini?"

Lathan tersenyum tipis dan mengangguk.

Rain segera menghubungi kakaknya, tapi sebelum itu matanya menangkap seragam sekolah milik Lathan yang tergeletak di sofa. Dan kebetulan, hari itu seragamnya memiliki badge nama.

Lathaniel Arsenio P

........

Terima kasih sudah membaca♡See you next part!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih sudah membaca♡
See you next part!

Langit Untuk Semestanya ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang