Chap27

27 5 0
                                    

"They don't complement each other, they share each other's wounds."

.
.
.

Happy reading!
Gengs kalo Nemu typo boleh ditandai ya^^ tolong kasih tau aku
.
.
Playlist
Human - Christina Perri

'But i'm only human
And  i bleed when i fall down'

........

Rain dan Mark berlari tergesa ke arah rumah yang cukup besar di depan mereka. Sejujurnya ini pertama kalinya Rain datang kerumah Lathan, atau mungkin rumah Daniel juga.

Gadis dengan jaket zipper abu muda itu masuk ke dalam rumah dan melihat keadaan sudah sepi. Ia menoleh ke arah Mark dan dijawab gelengan oleh lelaki itu.

Mark menghampiri seorang wanita paruh baya yang duduk di sudut ruangan. Rain melihat kedua orang itu sedikit berbincang sebelum Mark kembali menghampirinya.

Ia memegang pundak Rain, "Mereka udah di pemakaman."

"Yaudah ayo kita kesana." Ujar Rain  yang dibalas anggukan oleh lelaki di depannya.

"Gue seharusnya nggak mentingin diri sendiri, seharusnya gue ada di samping Lathan selama masa kritis mamanya."

Rain terus terisak dan melontarkan kata-kata penyesalan sepanjang perjalanan ke pemakaman. Lelaki di sebelahnya hanya menghela nafas mendengar itu.

"Jangan terlalu nyalahin diri lo sendiri." Ujarnya lalu menghentikan mobil, "Sampai. Orang lain udah pulang, tapi gue rasa Lathan masih disana."

Rain mengangguk dan segera turun disusul oleh teman kecilnya itu. Kakinya terhenti saat melihat Lathan berjongkok di depan gundukan tanah, di sebelahnya seseorang merangkul dan menepuk bahu lelaki itu.

"Dimana Daniel?" Rain menatap Mark.

Lelaki itu menghela nafas, "Lo pasti tau cowok itu."

Dimana Daniel? Lelaki itu berada dikamarnya. Semua orang tau, bahwa diantara mereka berdua. Daniel-lah yang paling lihai menyalahkan diri sendiri.

Disebelah Lathan itu Melody, Rain tentu saja tau ini bukan waktunya untuk cemburu atau hal semacamnya. Gadis itu hanya merasa semakin bersalah karena nyatanya akhir-akhir ini ia hanya menambah beban Lathan.

Rain berbalik, berniat pergi. Lathan mungkin tidak akan mau menemuinya.

"Mau kemana?" Mark mencekal tangan gadis itu.

Rain tersenyum tipis, "Cuma ke mobil, lo temuin aja Lathan dulu.."

"Mau kabur lagi?"

Rain terdiam.

"Asal lo tau, Lathan bahkan masih kerumah lo tadi. Malam dimana mamanya sekarat."

"Itu sebabnya, gue ngerasa bersalah."

"Lo mikir Lathan nggak akan maafin lo?" Mark berdecih, "Jangan mikirin diri sendiri Raina, kalo lo emang sayang sama Lathan. Lo nggak akan kayak gini."

Lelaki itu melepaskan cekalan tangannya pada Rain, "Liat cowok itu, gue rasa dia butuh lo.."

Mark lebih dulu menghampiri kedua orang di depan makam itu. Rain masih menahan langkahnya dan melihat dari tempatnya berada.

Melody menoleh, menemukan Mark dan melihat Rain yang agak jauh dari mereka.

Kedua orang itu bangkit berdiri. Lathan melihat Mark, lelaki itu segera menghampirinya dan memeluknya dan menepuk bahu Lathan.

Lathan tidak melihat Rain, lelaki itu hanya terus menunduk. Terlihat Melody terus menatap gadis itu hingga membuat Rain melangkahkan kakinya mendekat.

"Lathan.." Panggilnya membuat lelaki itu mengangkat kepalanya dan menatap Rain.

Lathan tidak menampilkan ekspresi apapun, lelaki itu hanya menatap mata Rain dengan tatapan kosong. Jauh lebih putus asa daripada yang Rain lihat di rumah sakit.

.......

"Maaf."

Itu kata yang pertama kali Rain ucapkan saat mereka duduk di bangku taman yang tak jauh dari pemakaman.

Mark dan Melody sudah pulang lebih dulu, mereka mungkin berpikir Rain butuh bicara dengan Lathan.

Lathan tidak menjawab, ia hanya menatap ke arah depan dengan tatapan kosong seperti tadi. Rain melihat mata lelaki itu, ia tau Lathan bahkan tidak pernah menangis.

Gadis berambut sebahu itu mendekat, melingkarkan tangannya pada pundak Lathan dan menepuknya pelan. Tidak peduli jika bahkan lelaki itu menolaknya nanti.

Ia tersenyum, "Lo boleh nggak maafin gue, tapi biar kali ini gue jadi tempat lo ngeluh."

"Lo udah selalu jadi apa yang gue mau, Lathan selalu ngerti apa yang gue butuhin. Biar sekali ini aja gue jadi hal yang lo butuhin juga." Gadis itu memejamkan matanya, "Lo boleh ngeluh atau ngutuk dunia sekalipun."

Lathan tidak menjawab, tapi lelaki itu menenggelamkan kepalanya pada bahu Rain dan perlahan melingkarkan tangannya pada pinggang ramping gadis itu. 

Gadis itu menghela nafas dan hanya terus menepuk bahunya pelan saat mendengar Lathan terisak dan merasakan pundak bajunya sedikit basah.

"Gue seharusnya bahagiain mama."

Kalimat putus asa dan penuh penyesalan itu adalah hal yang pertama kali Rain dengan dari Lathan sehari ini. Mungkin juga pertama kalinya Rain dengar selama mereka bersama.

Rain memejamkan matanya menahan tangisnya sendiri, "Lo tau? Gue berkali-kali ngerasa beruntung karena jatuh cinta sama orang sehebat lo."

"Jadi Tante Gina juga pasti bangga punya Lathan selama ini."  Lanjutnya mengeratkan pelukan pada pundak lelaki itu.

.........

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Terima kasih sudah membaca
See you next part!

Langit Untuk Semestanya ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang