Chap41

28 5 0
                                    


"Tak seperti senja indah yang selalu kamu ceritakan, ternyata kita lebih singkat dan menyakitkan."

.
.
.

........

Daniel tertunduk di sofa kamar papanya, didepannya seorang pria paruh baya tertidur tapi tidak terlihat damai sama sekali.

Tangannya mengusap sebuah foto yang diambil sekitar belasan tahun lalu, foto dua anak kecil yang tersenyum lebar ke arah kamera, foto yang menjadi perhatian Raina tempo hari dikamarnya.

Lelaki itu tidak berganti pakaian, ia masih memakai kemeja hitam pasca pemakaman tadi. Daniel tidak pernah tidur. Waktu menunjukkan pukul 10 siang, ini bahkan sudah hampir 13 jam semenjak mimpi buruk itu mendera.

Daniel tidak ingin percaya, tapi lagi-lagi alam dan suasana menariknya dalam kenyataan. Tidak ada yang mengomel saat dia keluyuran tidak jelas, padahal lelaki itu sendiri juga sering melakukannya. Jika Lathan tau keadaan saat ini, dipastikan lelaki itu juga akan memarahinya.

"Ganti baju! Kalo dari luar itu banyak kumannya tau nggak?"

Daniel mendengus, "Diem, lo anak IPS. Jangan sok tau."

Lelaki itu menghela nafas, "Yaudah terserah! Asal jangan masuk kamar gue!"

Daniel kembali tertunduk, kenangan-kenangan yang semula ia anggap tidak penting itu bahkan begitu berarti saat kita kehilangannya.

Jika saja bisa memutar waktu, lelaki itu akan menyempatkan diri memeluk Lathan bukan saat ia sekarat. Ia akan memeluk Lathan saat mereka bersua, ia akan memeluk Lathan bahkan ketika mereka berselisih. Ia tidak akan membiarkan Lathan mengalah seperti yang biasa lelaki itu lakukan.

Kehilangan memang selalu begitu, menyisakan penyesalan dan pengandaian jika waktu-waktu dan kejadian bisa diulang. Padahal semuanya tidak lagi berarti apa-apa.

.........

Rain membuka matanya,  hal yang pertama kali ditangkap oleh pengelihatannya hanya langit kamar yang begitu ia kenali, ya kamarnya sendiri.

Gadis itu mengubah posisi berbaringnya menjadi miring, dengan itu foto-foto polaroid yang tertempel di dinding kamarnya bisa terlihat begitu jelas. Rain terpaku, melihat senyum lebar Lathan disana, persis seperti saat-saat lelaki itu menjemputnya untuk keluar.

"Lathan.."

Gadis itu bersuara, tidak ada senyum di wajah pucatnya. Bahkan pelupuk matanya yang bengkak kembali mengeluarkan cairan bening. Rain ingin menolak kenyataan lagi dan lagi, tapi baju hitamnya, sunyi kamarnya, air matanya dan mata bengkaknya, menjawab semuanya..

Tidak ada alasan untuk gadis itu mencoba menipu diri sendiri.

Rain masih meringkuk di bawah selimut saat pintunya diketuk beberapa kali, gadis itu semakin memejamkan mata dan menahan isakkan ketika ada langkah berderap menghampirinya.

"Rain.." Suara mamanya menyapu pendengaran, "Makan dulu yuk?"

Gadis remaja itu membuka matanya, pengelihatannya cukup terhalang karena matanya yang begitu bengkak. Tapi gadis itu mencoba menatap sosok di depannya.

"Lathan ma.." Rain kembali terisak.

Mamanya menghela nafas, dan menarik Rain agar bangkit untuk duduk.

"Lathan.. Lathan ma.."

Gadis itu semakin terisak hingga sesak, seperti saat ia menunduk di depan makam tadi pagi.

Wanita itu ikut menitikkan air matanya, "Sayang.."

"Lathan ma.. Rain mau kerumah Lathan.."

"Nanti kita kesana, sekarang makan dulu ya sayang?"

Langit Untuk Semestanya ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang