30

543 98 26
                                    

Bab 30
.

Rotasi

.

Ini adalah hari Sabtu, bulan ke dua belas di Minggu pertama. Deluna tengah mengusap kaca transparan yang memisahkan dia dengan Mentari. Tidak ada air mata di pipinya, tetapi siapapun tau jika kesedihan tergambar nyata.

Deluna menoleh, menatap ke arah Agra yang berdiri di sampingnya, disana terlihat ada Braja yang bersandar di tembok, Ily- laki-laki itu benar-benar menepati janjinya untuk pulang secepat mungkin- tengah menyandarkan punggung pada tembok dengan kedua tangan dimasukan kedalam celana, juga ada Rega dan Angelia bersama dengan Radit yang duduk di kursi tunggu.

"Boleh masuk, Dok?"

Agra terdiam sesaat, tetapi tidak bisa menolak ketika mendapati tatapan Deluna. Dia mengangguk, "boleh."

Ketiga orang yang duduk, sontak berdiri menyaksikan Deluna yang membuka pintu ruang ICU, lantas mengenakan gaun protektif.

Keadaan diluar hening, tidak ada yang membuka suara seraya menatap Deluna yang tengah melangkah pelan ke bangsal tempat Mentari tertidur.

Bunyi elektrokardiograf terdengar memekakkan ditelinga Deluna meski suaranya pelan. Dia pelan-pelan mengambil tangan Mentari, mengusapnya, lantas menciumnya.

"Ma.." Kata pertama yang keluar dari bibirnya seolah berusaha menghancurkan pertahanan yang dia buat.

"Mungkin.. setelah ini Deluna nggak bakal kesini." Deluna tersenyum tipis, mati-matian menjaga suaranya tetap stabil meski tangannya bergetar. "Mungkin.. setelah ini Deluna nggak bakal liat Mama lagi."

Deluna menelan ludah. Pahit.

"Mama waktu itu janji sama Deluna buat nggak ninggalin Luna, tapi ternyata.. Mama bohong."

Gadis itu menunduk, berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengalirkan air matanya.

"Mama tenang aja, sekarang aku udah enggak kesepian. Mama liat cowok yang disana." Deluna menoleh ke arah Rega sesaat, tersenyum kecil. "Dia yang nguatin Luna waktu Papa nggak ada, Mama juga jangan khawatir, Rega anaknya juga nggak neko-neko kok."

Berbisik dalam hati, berdoa semoga waktu bisa di panjangkan sehingga dia bisa berlama-lama berbincang dengan ibunya.

"Tapi.. apa Mama nggak pengen sadar? Mama nggak pengen jagain Luna secara langsung? Deluna kangen loh sama Mama, Mama nggak kangen ya, Ma?"

Sudut hatinya terasa bergetar, seolah tidak mampu menopang luka yang mendera.

"Bahkan dalam mimpi buruk Luna sekalipun, Luna nggak pernah bayangin kalo bakal ditinggal sama Mama."

Deluna menarik nafas, kembali mengambil tangan Mentari. "Mama.. ayo dong kasih kesempatan buat Dokter supaya bisa berjuang lagi. Luna nggak bisa, Ma, nggak bisa kalo nggak ada Mama. Nanti siapa yang bakal Luna ajak ngobrol kalo Mama pergi? Siapa yang bakal Luna kunjungin? Siapa yang bakal Luna harapin sadar?"

Setetes air mata jatuh.

"Deluna belum jadi anak yang berhasil, Ma. Belum jadi anak yang sesuai sama apa yang Papa mau. Belum nunjukin semua prestasi yang Luna dapetin. Mama belum liat semua itu.. dan sekarang Mama mau pergi gitu aja?"

Disusul air mata lain yang membludak.

"Mama.. Deluna pengen kaya anak lain, yang pergi belanja bareng Mama nya, yang masak-masak bareng Mama nya. Mama sendiri yang ngajarin Deluna buat jangan jahat sama orang, tapi sekarang Mama yang jahat sama Deluna. Mama nyakitin Deluna."

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang