37

504 96 43
                                    

Bab 37
.

nemesism

.

Orang-orang dengan pakaian gelap tampak berhamburan di kediaman Mentari, dengan tahlil yang mengiringi. Kursi-kursi ditata didepan rumah untuk kerabat-kerabat juga bendera kuning yang terpasang di depan pagar.

Deluna pikir, kejadian semalam adalah yang terburuk, dimana dia menyaksikan kekasihnya juga Ayahnya terang-terangan berselingkuh, tetapi ternyata ada yang lebih buruk dari itu. Yaitu, ketika dia mendapat panggilan dari Agra dan menyuruhnya untuk segera ke rumah sakit.

Sesampainya Deluna disana, dia berdiri dengan linglung, lantas tepukan pelan serta tatapan mata iba dari Dokter Agra membuat telinganya berdengung.

"Kamu yang sabar ya?"

Entah telinganya yang salah dengar, entah matanya yang salah lihat, atau memang itu kenyataannya, karena dia melihat Mentari sudah benar-benar polos tanpa alat.

Dengan pandangan kosong, Deluna mengangkat kepalanya, menatap Agra. "Mama.. udah sembuh, Dok?"

Agra memalingkan wajah, tidak sanggup menatap mata Deluna.

Deluna sekali lagi bertanya. "Mama beneran sembuh, Dok? Dia udah nggak sakit lagi?"

Agra mengangguk, menarik Deluna ke dalam pelukannya. "Iya, Luna, Mama udah sembuh, udah enggak sakit lagi."

Dengan langkah kosong, Deluna melepaskan pelukan Agra, dia berjalan pelan ke tempat Mentari berbaring dengan kain putih yang menutupi seluruh tubuhnya, bertepatan dengan semua orang yang menyusulnya.

Dengan pelan tangan Deluna membuka kain putih yang menutupi wajah tenang Mentari, langkahnya termundur, nafasnya tercekat dengan air mata yang menetes dari netra yang menatap objek dihadapannya dengan kosong.

Suara tercekat dari orang-orang yang mengikutinya terdengar berdengung di telinga Deluna, mendadak dia seolah bisa menyaksikan Mama yang berdiri dihadapannya, tengah tersenyum tipis seolah berkata bahwa dia sudah baik-baik saja.

Mata Deluna memburam, selanjutnya gelap diiringi dengan teriakan yang memanggil namanya.

Dirinya kira, kejadian itu hanya mimpi buruk yang menghantuinya, sampai-sampai ketika dia terbangun lantas terlonjak, dan dia buru-buru menuruni anak tangga, keadaan rumah sudah ramai oleh massa.

Deluna melangkah, menghampiri satu-satunya orang yang terbujur disana, sontak membuat orang-orang disana memberikan jalan, berbagai permintaan untuk tabah dan mengikhlaskan seolah membuat telinga Deluna berdengung.

Deluna berjongkok, bahunya diusap berkali-kali oleh entah siapa. "Mama.."

Lirihan pilu itu seolah menghantarkan tangisan di sekitar untuk semakin mengeras. Angelia datang, dan duduk disampingnya, dia mengusap bahu Deluna pelan.

"Ikhlasin ya, Lun."

Dengan bergetar, tangan Deluna bergerak untuk mengusap kening Mentari. "Mama.."

Angelia dengan tersedu-sedu mengusap bahu Deluna. "Lun, Tante Mentari sedih kalo lo kaya gini.."

"Tiga hari yang lalu keadaan Mama baikan, Ngel, kenapa sekarang.. "

Deluna menatap Mentari yang tertidur dengan tenang, hatinya hancur dan jiwanya lebur seolah dirinya ikut mati bersama Mentari.

"Gue harus gimana kalo nggak ada Mama?"

Angelia terdiam, tidak bisa menjawab pertanyaan itu selain dengan usapan lembut di bahu Deluna. Tiba-tiba Deluna beranjak, memeluk erat-erat tubuh kaku tak bernyawa milik Mentari dengan tangis yang mendominasi. Bertepatan dengan itu pula, Ily datang, pakaiannya seperti biasa, dibalut hitam-hitam sebagaimana warna kesukaannya, dia langsung menghambur ke arah Deluna, memeluk bahunya.

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang