43

525 85 41
                                    

Bab 43
.

Jeda

.

"Nak Bara?"

Pria tua itu menghentikan langkah juga menetapkan mata pada Bara.

"Om." Bara mengangguk sekilas, bagaimanapun pria tua yang berdiri di depannya adalah seorang ayah dari sosok yang merupakan temannya di masa lalu.

"Kamu di sini buat Maria, kan? Buat bela Maria kan, nak?"

Bara tersenyum kikuk, tangannya mencengkram erat jemari Xera karena nyatanya meskipun orang tua itu merupakan Ayah dari Maria, tetap tidak menutup masa lalu yang mungkin dia masih menganggapnya sebagai sahabat anaknya.

"Enggak, Om. Maaf, saya di sini untuk Mentari."

Mata Gatra -Ayah Maria- melebar, terkejut. "Lohh Mentari? Dimana dia?"

Karena sejatinya Gatra lebih mengenal Mentari dari pada Bara sendiri.

Bahu Bara untuk sesaat melemas, sebelum tersenyum kecut. "Udah nggak ada, Om. Gara-gara tabrak lari."

Sudut kepala Gatra seolah memberi sinyal tersendiri..

"Jangan bilang..."

"Iya, Om. Maria."

... Dan ketika apa yang terdapat dalam kepalanya terbukti benar adanya, mungkin hanya denyutan tidak percaya yang ia rasa.

"Kamu ... serius?"

Karena memangnya, siapa yang akan percaya ketika ingatan tentang kedekatan antara Maria dan Mentari bahkan bagai perangko? Keduanya sangat tidak terpisahkan, dan apa yang dia dengar sekarang ini benar-benar mampu membuat Gatra merasa tidak percaya.

"Tidak pernah seserius ini mengenai permasalahan antara saya, Mentari dan Maria."

"Bagaimana ... mungkin?"

Pelan, dan nyaris hilang.

"Saya.."

Jeda.

"... belum tau bagaimana spesifikasi nya, Om. Untuk itu lebih baik kita segera menyusul yang lainnya ke kantor polisi."

.

"Abis lari dari masalah, lo ngerasa oke?"

"Lo sendiri?"

Yang ditanya mengangkat bahu, tidak tau.

Sore hari di New York dengan segala kepadatannya ternyata sedikit mampu mengurangi sesak dalam kepala Angelia dan Deluna, dengan panorama jalan yang penuh dengan masyarakat membuat keduanya sadar bahwa dunia tidak berpusat pada mereka. Yang lain baik-baik aja, dunia orang lain baik-baik aja, dan mereka tidak bisa memaksa diri untuk terus stuck pada perasaan sedih yang tidak semestinya.

"Percuma nggak sih kita kaya gini?" Angelia kembali membuka suara, kini duduk disamping Deluna dengan kedua kaki tertekuk.

Deluna menoleh, mengangkat sebelah alisnya.

"Percuma kan kita nyiptain jarak yang sangat jauh kalo nyatanya semua permasalahan kita itu kita bawa kemana-mana dalam kepala."

Deluna tertawa kecil, benar memang. "Ya ya ya, btw, lo kok jadi puitis gitu sihh."

Angelia mengernyit. "Lahh iya anjir, nggak nggak, gue nggak boleh patah hati cuman gegara-"

Patah. Jeda. Ucapan itu terjeda ketika mulut Angelia sedikit lagi melontarkan nama yang rasa-rasanya mampu membuat seluruh saraf dalam tubuhnya mengirimkan sinyal bahwa nama itu masih tidak baik untuk kesehatan mentalnya.

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang