44

537 89 29
                                    

Bab 44
.

makna

.

"Congrats."

"Thank you."

Gadis dengan toga di kepalanya itu tersenyum, menerima pemberian buket coklat dari laki-laki di depannya.

Dia Deluna, sekarang sudah genap 10 bulan dirinya sekolah di salah satu sekolah di kota metropolitan ini, menyelesaikan study dengan penuh keyakinan diri, kembali meraup puing-puing bahagia juga sisa-sisa kepercayaan pada dunia.

Laki-laki yang memberinya buket tidak lain adalah Ily, dengan kemeja hitam juga celana bahannya membuatnya tampak berkarisma, turut hadir menyaksikan adiknya wisuda setelah tidak genap setahun sekolah di sini.

Di sana terdapat Ily, Braja, Sam, juga Fiera, yang hadir di wisuda Deluna. Deluna bahagia tentu saja, meskipun selintas kepalanya membayangkan Mama nya turut hadir dalam wisuda ini. Tidak, dirinya tidak boleh kembali bersedih hati di hari yang membahagiakan ini.

"Luna."

Saat tengah bercengkrama dengan keluarganya, dari arah belakang suara seorang yang tidak asing memasuki indera pendengaran mereka, sontak mereka menoleh.

Tebak siapa yang berdiri dengan rambut berantakan dengan kemeja navy yang tidak dikancing sempurna dalam radius lima meter di sana. Deluna bahkan sampai tidak dapat berkata-kata melihatnya.

Orang itu melangkah maju, tidak langsung melakukan apa yang hatinya paksakan, melainkan dia mengulurkan buket mawar merah yang patah beberapa.

"Congrats."

"Rega.." bisik Deluna pelan. Di depannya benar-benar Aldebaran Regatta?

Rega tersenyum, tangannya semakin memajukan buket bunganya. Deluna menunduk, menerima buket itu lantas dia perhatikan sesaat.

"Thank you."

"Can we talk for a minute?"

Alis Deluna mengerut, bibirnya bergetar menahan senyum. "Gue mau jawab no." Katanya seraya sedikit tertawa.

"Tapi..?"

"I can't."

Karena ternyata Deluna masih sama, dia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Waktu ketika dirinya memutuskan untuk pergi, bukan berarti Deluna sudah tidak ada rasa lagi, melainkan keadaan yang mengharuskan mereka untuk tidak bersama kala itu, karena sejatinya, bukan perasaan siapa-siapa yang salah, tetapi tempat dan waktunya yang mungkin tidak tepat.

Rega tertawa kecil, mengangkat tangannya untuk sedikit mengacak rambut Deluna hanya untuk dia rapikan kembali.

"Gue nanti malem ada promnight."

Deluna dan Rega saat ini tengah duduk di taman, ditemani dengan es cream cone di tangan mereka masing-masing.

"Oh, ya?"

"Hooh, lo mau dateng bareng gue?"

"Boleh emang?"

"Ya ntar kalo nggak boleh lo balik lagi aja, gampang kan?" Deluna tertawa kecil, mengangkat kedua alisnya.

"Tega amat."

Tawa mengudara di sana, bersamaan dengan lampu-lampu jalanan yang mulai menyala karena malam sudah menyedot cahaya di atas sana. Mungkin benar, jarak yang mereka ciptakan menimbulkan jeda yang membuat semuanya terasa ada makna. Karena ternyata, menjauh dan selamanya tidak berdamai dengan luka justru malah membuatnya merasakan beban berat yang bertumpu pada dirinya, pada pundaknya, pada hatinya, pada apa saja yang malah membuatnya terkurung pada kesedihan yang terasa tidak ada ujungnya.

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang