Bab 40
.Camaraderie
.
Keesokan harinya, rumah Deluna kembali ramai, oleh orang-orang berseragam putih abu-abu. Anak kelasnya juga perwakilan OSIS berkunjung kerumahnya hendak mengutarakan bela sungkawa.
Natha dengan tangan terkepal tidak menyangka, pelan-pelan mendudukkan dirinya di samping Tere, kepalanya menunduk, dia merasa tidak berguna, tidak berguna sebagai sahabat karena ternyata dia tidak tau apa-apa tentang Deluna.
"Tolong panggilin Deluna." Perintah Braja kepada Angelia.
Kepala Natha mendongak, menatap Angelia, Rega, juga dua orang laki-laki lainnya yang tidak dia tau. Ternyata.. se asing ini hubungannya dengan Deluna? Dia tertawa miris dalam hati, menyalahkan diri sendiri yang ternyata tidak becus selama ini. Dia tidak tau apa-apa. Sama tidak taunya ketika Anindya akhir-akhir ini melewatkan sekolahnya begitu saja, bahkan ketika semalam grup kelas ramai oleh berita tentang meninggalnya Ibu Deluna, Anin tidak ikut nimbrung mengucap bela sungkawa. Yang Natha tau selama mereka bersahabat adalah, Anin tidak akan pernah melewatkan sekolahnya begitu saja, bahkan ketika dirinya sedang sakit, karena si peringkat dua itu mati-matian menjaga dirinya tetap ditempat jika setidaknya dirinya tidak bisa naik menyingkirkan si peringkat pertama.
Bisik-bisik disekitarnya semakin keras, kepala Natha mendongak, menatap Deluna yang duduk di sebelah Bu Jola juga Bu Elin dengan kepala menunduk.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Suara milik Pak Ghulam, guru agama terdengar, disambut salam lirih dari mereka. Selanjutnya bacaan Yasin kembali terdengar.
Entah kenapa, perasaan Deluna kembali mencelos, suaranya lirih, bahkan mungkin tidak terdengar, bahunya juga sedikit bergetar, diusap pelan oleh Bu Jola.
Natha melihatnya. Lihat, betapa tidak bergunanya dia sebagai sahabat.
Haha.
Remasan tangan, juga tawa getir yang dia tahan dalam bibir bergetarnya, menunjukkan seberapa merasa bersalah nya dia.
Beberapa saat setelahnya, setelah doa selesai, dan teman-teman sekelasnya bersalaman dengan si tuan rumah, Natha memilih menjadi yang terakhir.
Dia menumpu tubuhnya di lutut, berhadapan dengan Deluna yang duduk menyamping, berdiam diri beradu pandang selama beberapa saat. Dua pasang mata yang beradu itu sama-sama memerah, sama-sama bisu dalam riuh nya anak kelas.
"Lun.." Panggil Natha pelan. Dan Deluna tidak butuh satu detik pun untuk menubruk tubuh Natha setelah panggilan itu terucap.
Mendadak suasana rumah kembali diliputi pilu yang mencekik, mendengar dua sahabat yang sama-sama menangis nyatanya menjadikan mereka untuk beberapa saat menolehkan kepala, menatap prihatin.
Natha mengusap kepala Deluna yang tenggelam dalam dadanya, berbisik pelan. "Kenapa lo nggak ngomong apa-apa sama gue?"
Deluna terisak, tidak mempunyai daya untuk bicara karena nyatanya pelukan seperti ini yang sedari kemarin dia butuhkan tetapi tidak ada yang memberi.
"Gue ngerasa enggak berguna, Lun."
Karena ternyata, hanya ini satu-satunya yang tersisa untuk Deluna.
"Gue ngerasa nggak becus jadi sahabat elo."
Deluna menggeleng. "Cuman elo, Nath." Mengeratkan pelukannya. "Cuman elo yang tersisa, yang gue punya."
Natha mengangkat kepala Deluna, mengusap pipinya, menghapus air matanya meski terasa tidak berguna.
"Gue kaya mau mati, Nath."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalopsia
Teen FictionDeluna tidak mengerti arti sempurna, tetapi dunia memaksanya untuk menjadi yang paling sempurna. Angelia juga tidak pernah mengerti makna keluarga. Bagaimana dia bisa mengerti jika frasa keluarga bahkan menyakitinya? Lalu ada Aldebaran Regatta, fras...