39

501 90 40
                                    

Bab 39
.

abluvion

.

Angelia tengah menata bantal ketika telinganya menangkap suara dari luar. Kamar tamu yang ditempatinya berada di lantai satu dekat tangga sehingga suara orang dapat terdengar begitu saja apalagi jika tengah malam.

Angelia memutuskan untuk mendekat pada pintu, sedikit mengintip kecil. Seorang gadis dengan pakaian yang sama sejak tadi terlihat menuju dapur, Angelia memilih untuk mengikuti diam-diam.

Gadis itu, Deluna, mengambil air putih di galon, lantas menenggaknya. Tetapi entah apakah Angelia salah lihat atau bagaimana, ketika tangan Deluna terlihat bergetar, dengan cengkraman yang terlihat kuat pada gelas.

Deluna mengambil duduk membelakanginya, menunduk dengan punggung sedikit bergetar.

Sekali itu, Angelia kembali mengingat ketika Aryo pergi meninggalkannya, menuai kesakitan yang tidak ada ujungnya. Dia tidak menampik jika dirinya memang salah karena masih mempertahankan Maria. Tetapi, bukankah Maria tetap sosok yang dirinya sebut Mama?

"Lo ngapain berdiri di situ?"

Suara satu-satunya gadis selain Angelia terdengar, tubuhnya masih membelakanginya, tetapi dari suaranya seolah dia bisa melihat Angelia secara nyata di depan mata, bahkan tanpa perlu berbalik badan.

Angelia melangkah kikuk, setiap langkah yang diambilnya menuai rasa bersalah yang tiada ujungnya.

"Lo.. baik-baik aja?" Tanya Angelia pelan.

Deluna tentu saja menggeleng. "Nggak pernah ada yang benar-benar baik-baik aja setelah kehilangan."

Hening.

Sampai kemudian Rega, dengan muka kusutnya datang menuju ke arah mereka. Angelia memilih menepi, membiarkan kedua pasangan itu menyelesaikan urusan mereka.

"Lun.." Laki-laki itu memanggil pelan, terkesan berbisik.

Jangankan menjawab, melirik sedikitpun tidak Deluna lakukan.

"Maaf.."

Tetapi Deluna tidak butuh kata maaf.

"Yang lo liat kemaren malem nggak seperti yang lo pikirin, Lun."

Kali ini Deluna menatap Rega, tepat di mata, dan Rega tertegun. "Emang apa yang gue pikirin?"

Nadanya datar, tatapannya kosong. Tidak ada emosi didalamnya, tetapi justru membuat hati Rega mencelos.

"Gue-"

"Lo pernah nggak sih, bayangin, lo abis bangun dari pingsan, dan ketika lo keluar kamar, lo sadar lo udah kehilangan segalanya. Dan ketika lo masuk kamar lagi, lo sadar nggak ada lagi yang ada di sisi lo?"

"Lun.."

"Jangan bilang, gue masih punya elo, Ga. Karena nyatanya gue udah kehilangan semuanya. Termasuk diri gue sendiri."

"Lun, jangan gini." Matanya menyorot lembut, berusaha meyakinkan sebagaimana yang dulu dia lakukan di rooftop Rumah Sakit.

"Gue nggak bisa, Ga."

Rega mengernyit, menunggu kelanjutan dari ucapan Deluna.

"Nggak bisa bareng lo lagi."

Sekali itu jantung Rega terasa lompat dari tempatnya, dia reflek berdiri dari kursinya, menyentaknya hingga menghasilkan suara berderit.

"Nggak bisa gitu, Lun. Lo bahkan belum denger penjelasan gue."

Deluna tetap tenang, seperti pertama kali Rega lihat. "Nggak ada yang butuh penjelasan apapun, dari siapapun." Dia berbalik, hendak meninggalkan Rega, tetapi kalah cepat oleh tangan yang mencekalnya.

KalopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang