BAB 47 : Memori

62.1K 7.5K 1.3K
                                    

Jangan lupa tinggalkan voment sebagai bentuk bayar parkir. Beyduwey, ini narasinya gede-gede :(

Kukasih clue biar gak pusying. Inget semua tragedi yang dialami setiap tokoh di sini, karena semuanya saling berhubungan.

***

❝Jangankan anda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangankan anda. 1000 pasukan bersenjata pun akan saya lawan, jika berani menyakiti gadis saya.❞ —Rayyan Arka Valerian

***

Author Pov

"Vio jangan kemana-mana, diem di dalem sini, ya? Jangan buka pintu lemari kalau bukan Papa yang minta."

"I-iya. Tapi Papa ... itu ada siapa di luar rumah? Papa kenal?"

"Nanti Papa liat dulu. Sekarang Vio diem di sini, nggak boleh buka suara. Diem. Jangan keluar lemari sebelum Papa yang nyuruh ya."

Dalam tidurnya malam ini, gadis berwajah putih pucat itu benar-benar terusik kala suatu yang pernah terjadi satu tahun lalu kembali hinggap di mimpinya. Matanya terpejam rapat, namun reaksi tubuhnya amat gelisah. Viola tersentak bangun dengan napas yang sedikit tersenggal lelah.

Viola merubah posisinya menjadi duduk, ia bergumam pelan seraya menyugar rambutnya gusar. "Kebayang lagi...."

Dirinya hanya anak berusia 16 tahun kala itu, yang dipaksa masuk ke dalam lemari oleh Sang Papa di malam hari. Tidak mengerti apa yang terjadi selain menurut. Tidak tahu siapa yang datang selain diam. Viola hanya mencoba menutup mulut, bahkan saat raungan dan rintihan kesakitan dari suara Ayahnya terdengar di ruangan tengah.

"P-papa...."

Viola ketakutan. Jelas saja, namun gadis itu tetap memilih tak beranjak dari tempatnya. Memeluk lututnya kian erat disaat pelupuk matanya memerah menahan tangis. Tubuhnya mengigil sejadi-jadi, ia juga kesakitan. Sakit saat mendengar suara gaduh mengerikan yang berasal dari luar.

Papanya sedang dibunuh.

Dibunuh oleh orang asing.

Celah lemari yang sedikit terbuka mampu memberi pandangan dari dalam. Viola menahan napas kala mendengar langkah kaki yang bergetuk mendekat. Rahang gadis itu seolah ingin jatuh ke bawah, saking susahnya mengendalikan emosi. Viola memberanikan diri mengintip menggunakan sebelah matanya.

Itu seorang lelaki. Bertubuh tinggi. Memakai pakaian serba hitam juga topeng putih yang penuh dengan cipratan darah pekat di sana.

Kerongkongan Viola semakin perih. Tanpa sadar, gadis itu kembali menangis malam ini. Masih begitu dirinya ingat, setengah jam setelah pembunuh itu meninggalkan rumah, Viola bergegas keluar kamar. Kakinya seperti tak menapak saat melihat darah gencar mengotori lantai rumahnya. Papanya terbaring kaku di sana, dengan kondisi begitu menyedihkan.

HEI, BODYGUARD! (A Secret) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang