BAB 8 : Razia

116K 10.4K 1.1K
                                    

Author Pov

“Itu kenapa luka?”

“Enggak pa-pa, kemarin berantem sama Lura.”

Alasan tak logis. Rayyan mengakui itu secara sadar. Pertanyaan yang dilontarkan oleh gadis itu kemarin terlalu mendadak, sampai mulutnya memberi jawaban apapun yang terbesit di benak. Lelaki itu menatap diri di pantulan cermin, arah matanya kosong–nampak seperti tak ada kehidupan yang tercipta.

Ia menyingkap seragamnya sedikit, mengamati nanar bagian tubuhnya yang lebam membiru. Rayyan tak tau harus menyebut ini luka apa. Hasil tendangan, pukulan, cambukan atau ... apa? Terlalu banyak. Rasa sakit yang sama pula, yang ia dapatkan selama belasan tahun secara ... rutin.

Penjahat hebat sepertimu memangnya pantas mendapatkan kasih sayang?

Bercermin. Lihat dirimu. Kamu, hanya anak pembawa malapetaka.

Sadar diri dari sekarang. Bahkan kamu tak pantas menyandang nama belakang Valerian.

Rayyan beranjak pergi keluar pintu kamar. Ia menggantungkan ransel sekolah di sebelah pundaknya seraya menuruni satu persatu anak tangga.

“Abang!” panggilan lucu itu berasal dari Alura, gadis kecil yang sudah duduk di meja makan. “Ayo sarapan bareng!”

Rayyan menatap lurus dengan tatapan nanar, ada Geo, Alura dan Anita—mamanya tengah tersenyum manis ke arahnya. Senyum penuh kehangatan yang membuat sudut bibir lelaki itu sedikit terangkat.

“Rayyan ayo sarapan,” ajak Anita begitu lembut.

Niat Rayyan saat ingin menghampiri tertahan kala netranya tak sengaja bertubrukan dengan Geo, lelaki dewasa itu menoleh penuh kesinisan. Lonceng peringatan tajam jelas berdengung di kedua telinga Rayyan, seakan-akan Geo melarang mendekati keluarganya.

“Bun, Rayyan mau sarapan di luar aja,” kata lelaki masih dengan nada datar.

“Enggak, harus makan bareng sama Bunda. Nggak kangen emangnya sama masakkan Bunda?” tanya Anita, menutupi rasa pedih yang terasa.

Alura menoleh dengan pandangan teduh. “Abang kok nggak mau sarapan bareng? Udah lama Lura nggak sarapan bareng Abang.”

Rayyan tak membalas perkataan Alura sedikitpun, hal yang membuat gadis kecil itu langsung menundukkan kepalanya. Terlalu takut. Rayyan terlihat menyeramkan akhir-akhir ini di matanya. Seakan lelaki itu dilingkupi aura kelabu yang kelam.

“Biarin aja Bun, udah gede ini. Nggak usah diurusin,” ujar Geo melanjutkan kegiatannya.

“Bukan kayak gitu, Mas. Udah lama juga kita nggak makan bareng.” Anita kembali mendongak pada putranya. “Rayyan sarapan dulu, ya?”

“Kalau kamu ajak anak itu makan di sini, saya yang bakal pergi. Nafsu makan saya hilang kalau liat dia,” tutur Geo lagi masih terlihat tenang namun menusuk.

Lagi, Anita diserang rasa bimbang yang sama hebat. Ia melirik kasihan pada Rayyan yang nampak membatu di tempatnya. Seakan lelaki itu adalah parasit yang nyata di keluarga ini. Geo ikut menoleh ketika menyadari Rayyan hanya diam memandangnya.

“Kenapa kamu liatin saya kayak gitu?” tanya Geo sengit. “Duduk saja di sini kalau ingin sarapan bersama, itupun jika kamu sudah tidak memiliki rasa malu.”

“Mas!” sentak Anita merasa suaminya sudah kelewatan. “Bisa kamu jaga omongan kamu? Lupa kamu di sini ada Alura?!”

Alura semakin menunduk.

"Rayyan juga sama, dia ... anak kita,” lanjut Anita.

“Oh, ya?” Geo membalas masih sangat tenang, tak peduli dengan Rayyan yang sedikit demi sedikit memundurkan langkahnya. “Kamu saja Nita, saya terlalu malu menganggap dia seorang anak.”

HEI, BODYGUARD! (A Secret) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang