“Fay, bangun. Salat sekarang!” Ayu berkata dari luar pintu kamar yang masih tertutup rapat
Fay menggeliat pelan, melirik jam yang menunjukkan pukul empat pagi, membuatnya memilih memejamkan mata kembali. Teriakan berulang penuh dengan gedoran keras terlalu mengganggu gadis yang masih awut-awutan itu. Beranjak keluar membukakan pintu. Ia melihat Ayu bersedekap memandangnya sinis.
“Mbak, ‘kan tahu. Aku nggak biasa bangun pagi,” cicit Fay.
Mereka sudah sangat akrab, tak jarang Fay yang terkenal tomboi itu selalu menunduk ketika melihat tatapan Ayu yang memandangnya sinis setiap kali membangunkannya pagi-pagi untuk salat.
“Biasakan bangun pagi. Nanti keluargaku dari Surabaya mau ke sini.”
Ayu menyerahkan pakaian yang Fay ketahui merupakan sebuah gamis lengkap dengan khimarnya.
“Nanti pakai ini, tahan sampai mereka pulang. Bisa, ya?” Fay terpaksa mengangguk. Ia merasa sudah sangat merepotkan Ayu karena tinggal di rumahnya. Fay pernah menawarkan agar gaji modelnya tak usah ditransfer, hitung-hitung untuk menopang biaya hidupnya saja. Tapi Ayu menolak.
°•°
Memandangi penampilannya dari cermin, Fay merengut. Gadis sepertinya yang biasa memakai pakaian pas di tubuh, merasa risih ketika harus menggunakan gamis yang longgar. Fay keluar kamar, mendapati Ayu yang sudah berkutat dengan alat dapur. Ah, Fay jadi makin insecure, jam lima kurang saja Ayu sudah memasak. Berbeda dengannya yang kadang masih tertidur.
Fay menyapa Ayu, gadis yang masih berkutat itu menyuruh Fay duduk dan menunggu ia selesai. Namun, sebagai manusia yang mempunyai urat malu. Fay menolak. Ia bangkit membantu Ayu.
“Kamu bisa iris bawang merah ini, lima siung saja,” titah Ayu pada Fay. Fay menurut, mengambil lima siung bawang merah, mengupas kulitnya dan mulai memotong. Gerakannya terlihat kaku. Gadis itu beberapa kali terlihat mengangkat tangan guna menurunkan lengan gamisnya yang melampaui panjang lengannya. Tak jarang tangan kirinya pun ikut membenahi khimar yang mencong akibat ia tidak memakai dalaman.
Ayu merebut tiga siung bawang yang tersisa di tangan Fay, gadis itu melanjutkannya dengan mudah tanpa ada kesusahan dan ketidaknyamanan karena hijabnya.
“Mbak bisa masak, sejak kapan?”
“Aku dulu sering lihat, ibu.”
“Mbak berhijab, mulai umur berapa?”
“Sejak TK, aku selalu menangis jika tidak memakai hijab. Intinya sejak kecil aku suka hijab. Lagi pula keluarga juga berhijab semua, mungkin itu yang membuat aku ingin. Tapi untuk istiqamahnya mulai kelas empat SD walaupun belum sempurna.”
Jawaban Ayu membuat Fay ternganga, Fay umur segitu masih asyik dengan model-model rambut yang membuat penampilannya menarik.
“Kenapa, tanya begitu? Kamu mau?” tanya Ayu.
Fay tersenyum, “belum siap.”
“Seseorang jika berniat baik menunggu siap, tak akan terlaksana. Semua harus mulai dari kata ‘terpaksa’. Maka, dari keterpaksaan itulah akan timbul menjadi sebuah kebiasaan.”
“Jika kamu sudah ada niatan baik, segerakanlah!” pungkas Ayu.
“I-iya, Mbak.” Ragu.
Ayu tersenyum dan kembali melanjutkan masak-memasaknya. Fay pasrah, ia duduk saja seperti arahan Ayu. Hingga bel rumah terdengar, baru Ayu menyuruh Fay membuka pintu. Fay menjawab salam orang di luar, ia dapat melihat senyum wanita paruh baya yang seumuran dengan Sarah, mama Adrian. Ah apa kabar dia? Fay rindu.
YOU ARE READING
Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)
RomanceKesakitan yang didapat dari kedua lelaki yang pernah dipanggilnya ayah juga kematian sang ibu dua tahun lalu, membuat Gilsha Faynara membenci seorang laki-laki. Pertemuannya dengan dokter muda melalui sebuah peristiwa membuat hatinya goyah. Dengan...