39. Meninggal Dunia

36 8 0
                                    

Fay baru saja selesai salat, gadis itu beranjak melipat sajadah dan mukena. Duduk memakai sepatu di depan mushola. Getaran berasal dari tas mengalihkan atensi.

Fay merogoh tas dan mendapati nomor tak dikenal menelepon Adrian. Tak ada niat berbicara, Fay hanya menyimak.

“Selamat siang, Dok. Pasien yang dokter amanahkan kepada dokter Sandra atas nama Wawan, penderita hipertensi emergensi yang berada pada ruang rawat nomor 43. Baru saja meninggal dunia tepat pukul 13.15—“

Fay memutuskan panggilan sebelum suster yang berbicara dari seberang itu melanjutkan ucapannya.

Tangan kanannya membekap mulut dan tangan kiri memegangi dadanya yang sesak, matanya memanas, detik berikutnya ia mengeluarkan air mata.

“Ayah ...,” lirihnya. Bagaimanapun ia adalah putrinya. Sejahat apa pun Wawan di masa lalu, Fay merasa bersalah. Gadis itu belum sempat menemui ayahnya.

Penyesalan memang selalu terjadi di akhir. Dan sekarang, Fay hanya bisa menangis. Memori kemarin saat ia melihat Wawan di rumah sakit. Ketika dirinya enggan peduli.

Rasa bencinya yang memuncak itu membuat dirinya kehilangan. Kini, kedua orang tuanya telah tiada. Harusnya, waktu itu ia sempat merawat Wawan. Mungkin semua penyesalan ini tidak akan ada dan tidak semenyakitkan ini.

“Hiks, anak macam apa aku ini?”

Beranjak meninggalkan mushola, gadis itu berjalan menghampiri Sarah yang terlihat lega.

“Ma?” sapanya pada Sarah. Wanita yang masih tersenyum itu makin melebarkan senyumnya hingga tampak deretan giginya yang rapi.

“Mama terlihat lega sepertinya.” Sarah mengangguk. “Alhamdulillah, Adrian telah melewati masa kritisnya. Kekuatan doa memang nomor satu. Kamu habis berdoa, Adrian jadi lebih baik.”

“Kebetulan, Ma. Oh iya, aku mau pamit pulang dulu ke Jakarta, boleh?”

Senyum di wajah Sarah meluntur, wanita itu mengernyit.

“Jadi begini, tadi Mbak Ayu telepon. Ada kerjaan mendadak gitu. Kalau biasanya aku izin, kali ini nggak bisa. Gimana, Ma?”

“Em, gimana ya? Kamu nggak mau nunggu sampai dapat giliran jenguk Adrian dulu?” tanya Sarah, ia berharap Fay mau menuruti permintaannya. Tapi gadis itu menggeleng.

“Maaf, Ma. Ini buru-buru.”

“Ya sudah. Kamu hati-hati di jalan, ya.”

“Mbak Diana?”

“Diana dan Fandy masih makan siang di kantin. Papa sedang menjenguk Adrian. Kamu pergi saja, buru-buru ‘kan?”

“Iya, ya udah salam buat semuanya ya, Ma. Sekali lagi maaf nggak sempat jenguk Mas Rian, ini ponselnya.” Fay memberikan ponsel Adrian pada Sarah.

“Maaf, aku terpaksa berbohong soal ini. Ceritanya panjang dan hanya Mas Rian yang tahu. Aku nggak ingin buat dia khawatir, aku ingin membiarkan dia beristirahat. Ridhai aku, Tuhan.” Fay membatin sepanjang perjalanan.

°•°

“Kamu sudah lebih baik?” tanya Ardan.

Adrian yang masih lemah itu hanya mengangguk singkat menanggapi.

“Preman-preman itu memang seperti mengincar kamu. Dan mereka juga tahu bahwa Fay adalah kelemahanmu. Papa tanya sekali lagi, benar kamu tidak mempunyai musuh?”

“Benar, Pa. Adrian juga nggak kenal mereka siapa. Sudahlah, jangan dulu dibahas,” jawab Adrian lemah.

“Ya sudah, Papa keluar dulu. Mama pasti sudah menunggu, sejak tadi dia cemas sekali.”

Ardan mengelus rambut Adrian dan pergi dari ruangan.

Pintu kembali terbuka ketika Sarah memasukinya. Wanita itu menumpahkan air mata dan berkali-kali mencium kening putranya. Ucapan syukur terdengar oleh Adrian.

“Alhamdulillah. Kamu selamat, Sayang.”

“Fay mana, Ma? Dia masih di luar?”

“Tadi, sebelum Mama ke sini, Fay pamit pulang ke Jakarta dulu. Dia ditelepon Ayu dan tidak bisa beralasan katanya.”

Adrian tersenyum miris, lelaki itu membatin, “Pekerjaan lebih penting buat kamu, Fay.”

“Dia juga mengembalikan ponselmu. Tapi, kamu masih sakit. Biar Mama simpan dulu. Kamu fokus sama kesehatan kamu, istirahat yang cukup, ya. Mama keluar.”

Adrian menghembuskan napas kasar. “Fay, Fay. Apa saya tidak lebih penting dari kerjaan kamu itu? Keterlaluan sekali. Calon suaminya sakit bukannya ditungguin malah ditinggal.”

°•°

Fay berlari sepanjang lorong rumah sakit. Gegas masuk ke ruang rawat Wawan sebelumnya. Tapi gadis itu tidak menemukan siapa-siapa.

Keluar, ia bertabrakan dengan suster. “Sus, pasien atas nama Wawan yang pernah ada di ruang rawat ini di mana, ya?”

“Maaf, Bu. Pasien sudah dipindahkan ke kamar mayat. Karena pasien telah men-“

Tak mau mendengar lagi, Fay kembali berlari. Namun terhenti karena ia tidak mengetahui letak kamar mayatnya.

“Permisi Sus, kamar mayat di mana?”

“Mbak lurus saja, nanti belok kiri.”

Tak berterima kasih, Fay dengan air mata yang mengalir deras itu kembali berlari.

Membukanya perlahan, Fay memejamkan mata dan melangkah pelan. Gadis itu meneliti brankar-brankar berisi beberapa mayat yang terdapat dalam ruangan.

Berhasil menemukan, Fay membukanya dengan tangan gemetar.

“Huaaa ...!” Histeris, gadis itu terduduk setelah melihat wajah mayat itu memang benar ayahnya.

Menutup muka menggunakan kedua telapak tangan. Kembali otaknya memutar memori-memori yang sempat terekam. Di mana saat ia kecil, ia selalu bangga dan menyayangi ayahnya yang pengertian membelikannya berbagai macam mainan.

“Ayah, maaf.”

Fay berdiri, mengelus wajah kurus Wawan yang memucat menggunakan jemarinya. “Harusnya kita bisa bertemu dalam keadaan sehat. Ayah harus minta maaf terlebih dahulu. Nanti aku akan pertimbangkan untuk memaafkan atau tidak.”

“Kenapa ayah jahat? Ayah ninggalin aku dengan segala kepingan luka yang tak bisa terobati hingga kemarin. Kalau saat ini, bagaimanapun keadannya aku sudah pasti memaafkan ayah.”

“Ayah tahu? Dulu aku benci sekali dengan ayah. Tapi melihat ayah terkapar tanpa nyawa seperti ini, dunia yang sempat kembali terbangun ini runtuh juga pada akhirnya. Aku nggak tahu Tuhan menciptakan aku untuk apa? Aku sendiri, aku selalu menangis. Orang yang aku sayangi selalu Ia panggil satu-persatu. Kenapa Tuhan nggak ngambil aku juga?”

“Nggak ada harapan lagi aku menjejakkan kaki di dunia, jika orang tua, orang-orang yang berarti buatku diambil.”

°•°

To be continued ....

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Where stories live. Discover now