Pagi itu, pertama kalinya Fay menguasai dapur Adinata. Dia sengaja masak pagi-pagi untuk sarapan keluarga suaminya. Meski tak pandai, tetapi Fay bisa. Dia sudah bisa, meski hanya beberapa menu saja. Contoh kecil memasak nasi goreng, mi goreng, dan membuat sambal.
Saat dirinya tengah sibuk dengan alat masak, sepasang lengan kokoh melingkari pinggangnya. Lalu beban kepala dijatuhkan di pundaknya.
"Pagi sekali, Fay ...," gumam Adrian dengan suara parau. Seusai salat Subuh, lelaki itu memang memutuskan untuk kembali tidur. Dan saat bangun, dia kehilangan sang istri.
Fay menanggapi dengan seutas senyum saja.
"Sudah pandai masak sekarang?" komentar Adrian ketika Fay tengah menata masakannya.
"Hu'um. Kalau enggak bisa masak, nanti suami kabur ke warung makan," candanya.
Adrian terkekeh. Dia eratkan pelukannya dan sengaja menggoda Fay dengan mengelusi perutnya. Lelaki itu berharap, kado yang dia berikan kepada istrinya kemarin lekas menjadi buah hati.
Mendapat perlakuan seperti itu, Fay menggeliat manja dengan melenguh kegelian. Sontak saja, memori kemarin malam otomatis terputar di benak.
Kemarin malam, usai ucapan selamat tidur diucap Adrian, nyatanya mereka tidak benar-benar tidur. Membahas hadiah ulang tahun, Adrian memilih memberikan dirinya untuk Fay seutuhnya. Mereka telah menyatu dengan cinta. Berjanji pada setiap hela napas untuk saling setia.
"Ekhem. Masih pagi ini."
Mendengar suara seseorang, Adrian dan Fay lekas berbalik. Mendapati Ardan yang tengah membuka kulkas dan meminum air dari botol. Lelaki yang dipanggil papa oleh Adrian kemudian tersenyum dan mendekat ke arah mereka.
"Alhamdulillah Fay, kamu sudah kembali. Nanti kita ngobrol, ya. Papa mau ceritakan nelangsanya Adrian tanpa kamu."
Setelahnya juga Ardan meminta maaf sebab pernah salah paham kepada menantunya.
Ardan kemarin lembur, baru pulang dini hari tadi menjelang Subuh. Namun, Sarah memberitahu lewat sambungan telepon jika putranya telah berhasil membawa pulang istrinya, pun dengan keributan yang dibuat Ridho setelahnya.
Semuanya telah siap di meja makan. Fay mengamati sekilas, tampak ada yang kurang.
"Em, Ma ... Mbak Diana di mana?" tanyanya dengan nada pelan.
"Namanya ibu hamil biasa lah, Fay, mintanya jalan-jalan mulu. Enggak tahu itu beneran keinginan dedek bayi atau justru keinginan mamanya."
Fay terkekeh, ekor mata melirik Adrian yang juga tersenyum tipis. Dan entah mengapa, Fay juga ingin seperti Diana. Mengandung buah hatinya bersama Adrian.
"Tapi, mungkin nanti dia pulang. Mama udah kasih tahu kalau kamu kembali ke rumah," lanjut Sarah, memberitahu.
"Nanti ganggu, Ma," cicit Fay. Merasa tidak enak, sebab hanya karena dirinya, Diana batal menikmati liburan.
"Enggak akan. Dia pergi udah seminggu. Juga semenjak bukti itu ada, dia pengin banget ketemu sama kamu." Tangan Sarah kemudian menggapai tangan Fay yang duduk berseberangan dengan dirinya, dengan wajah sendu, Sarah berkata, "Fay ... Mama minta maaf banyak-banyak ke kamu, ya. Apalagi waktu itu Mama sampai hati menampar kamu."
"Sudah, jangan dibahas, Ma. Semuanya sudah berlalu dan Fay ikhlas."
Adrian berdehem, tautan kedua tangan wanita itu terlepas.
"Ayo, makan!"
°•°
"Aku ikut, boleh?" cicit Fay, melihat Adrian telah rapi dan bersiap pergi ke rumah sakit, dia menatap melas dengan jari-jari yang memilin hijab hampir kusut.
"No, no! Kamu istirahat saja, Sayang."
"Mas ...," rengek Fay manja. Bergelayut pula di lengan suaminya.
Tak banyak bicara saking gemasnya, Adrian memilih mengangguk dan membuka pintu mobil untuk Faynara.
Kali pertama, dia berangkat kerja dengan seorang wanita yang tak lain adalah istrinya.
"Mas ... aku boleh tanya?"
"Kamu sekarang sopan benget si? Mau tanya aja pakai izin dulu." Lelaki itu terkekeh membuat lesung di pipi kanannya terlihat.
Fay mencebikkan bibir, lalu membenarkan duduknya agar lebih nyaman. Sedikit bersandar pada kursi dan melihat ke luar jendela mobil. Dia berujar, "Bagaimana dengan Angeline?"
Adrian bergeming.
Menyadari tak ada jawaban, Fay menoleh ke arah suaminya. Tangannya menyentuh lengan Adrian.
"Kenapa, Mas?"
Adrian tersentak. "Em, dia dipenjara."
Kini, giliran Fay yang membelalakkan mata.
"Di ... dipenjara?"
Adrian mengangguk. Lalu tangannya terangkat mengelus pipi istrinya.
"Kamu mau dia dihukum apa selain dipenjara, hm?"
"Berapa lama?" tanya Fay tanpa menjawab Adrian.
"Lima belas tahun, Fay. Itupun karena kami hanya melaporkannya atas kasus pembunuhan disengaja. Belum karena pencemaran nama baik kamu."
"Jangan kasihani dia, itu pantas untuk perbuatannya yang hina," tekan Adrian melihat wajah sendu istrinya.
Tak terasa, mereka telah sampai di rumah sakit.
Melupakan obrolan mereka di mobil tadi, Adrian kini benar-benar bahagia sebab untuk yang pertama kali membawa Faynara ke tempat kerjanya. Jika dulu Fay pernah ke rumah sakit ini sebagai pasien, kali ini menjadi istri. Dulu pakaian Fay tomboi, kini pakaiannya sempurna menutupi.
Para dokter dan perawat ternganga melihat wajah dokter muda Adrian terus mengulum bibir, menebar senyum. Sedang Fay di sebelahnya terus menggandeng lengan suaminya, seolah menunjukkan pada dunia bahwa dialah istri dari Adrian Dwi Adinata.
Keduanya saling bertatapan.
"I love you, Sayangku Faynara," ujar Adrian.
"I love you too, Dokter Adrian."
°•°
TAMAT
Terima kasih kepada seluruh readers yang telah mengikuti cerita ini sejak awal. Yang menunggu update dari author pemalas sampai berbulan-bulan.
Mohon maaf apabila banyak kekurangan dalam cerita 'Jodoh Untuk Faynara'. Mohon maaf pula jika kalian kecewa sebab menunggu cerita ini update tetapi ending. Dan endingnya tidak memuaskan ataupun jauh dari ekspektasi kalian.
Inilah author, beginilah caranya bercerita. Jika suka, terima kasih.
Jika tidak, terima kasih juga.Happy Holidays!! 😘
Salam sayang, Author Amatir
YOU ARE READING
Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)
RomanceKesakitan yang didapat dari kedua lelaki yang pernah dipanggilnya ayah juga kematian sang ibu dua tahun lalu, membuat Gilsha Faynara membenci seorang laki-laki. Pertemuannya dengan dokter muda melalui sebuah peristiwa membuat hatinya goyah. Dengan...