Setelah Diana menceritakan semuanya, Sarah menghela napas. Seperti ada ribuan jarum yang menancap di ulu hatinya. Ia benar-benar sudah menyayangi Fay seperti anaknya sendiri.
“Fay benci laki-laki yang khianat, Fay juga benci dengan laki-laki yang suka menyakiti cewek, Ma.”
“Kasihan sekali, Fay. Besok kita temui dia ya. Fay bisa terpuruk karena Adrian mengabaikannya.”
Saran Sarah diterima oleh Diana. Mereka sebagai perempuan, mencoba memahami apa yang dirasakan Fay. Tentu sakit, lagi pula apa yang diharapkan seorang anak ketika orang tuanya sudah berpisah. Tidak ada lagi tempat untuk pulang. Keluarga itu tempat menyelesaikan segala masalah dan permasalahan. Namun jika keluarga itu yang bermasalah, apa boleh buat?
Di kamar, Adrian mondar-mandir tidak tenang. Sudah berkali-kali lelaki yang masih menggunakan handuk itu menelepon nomor Fay. Tapi tak kunjung diangkat. Bahkan pesannya sama sekali tak terbalas.
“Apa hanya karena itu, kamu marah Fay? Lebay sekali. Mending telepon Eline.”
Sebelum meneleponnya, Adrian terlebih dahulu memakai baju. Setelahnya, Adrian duduk di pinggiran kasur dan mulai menelepon Angeline. Dering ketiga sudah diangkat. Ini baru cewek idaman, tidak membuat cowok menunggu terlalu lama.
Lihat, baru sekali bertemu kembali dengan Angeline, Adrian sudah mulai membanding-bandingkan Angeline dengan Fay, gadis yang baru kemarin ia katakan cinta.
“Ya, kenapa telepon?” Suara Angeline terdengar memburu, sepertinya gadis itu sedang di dapur. Terdengar dari bunyi gesekan yang mungkin saja ditimbulkan oleh wajan dan spatula.
“Aku ganggu?”
“Nggak sih, santai aja kali. Ini juga usah selesai.”
“Baguslah. Aku butuh teman ngobrol soalnya.”
Terdengar tawa berderai di seberang, Angeline tertawa menanggapi Adrian.
“Kenapa tertawa?” Datar, singkat dan padat.
“Baru juga tadi kita ngobrol banyak, masa udah pingin ngobrol lagi.”
“Emang nggak boleh?”
“Ya bukan nggak boleh, Cuma perasaan kamu dulu nggak gini-gini amat deh.”
Kalimat itu? Mengingatkan Adrian pada seseorang.
‘“Ih jijik gue, perasaan lo dulu nggak gini-gini amat.’ Itu perkataan Fay tadi pagi. Tiba-tiba rasa bersalah menyeruak ke dasar permukaan. Adrian mematikan telepon sepihak, bangkit dan memakai jaket. Keluar dari kamar.
“Malam-malam, mau ke mana?” tanya Ardan, lelaki paruh baya itu asyik menikmati siaran pertandingan bola.
“Keluar bentar.”
Adrian terlihat terburu-buru, tidak sempat menyalami sang papa yang masih memandanginya. Sarah mendekati Ardan, menatap heran suaminya yang menatap pintu dengan tatapan heran.
“Kenapa, Pa?”
“Adrian, Ma. Dia pergi malam-malam begini, terlihat buru-buru sekali.”
Hati Sarah senang, tebakannya kali ini. Adrian pasti akan menemui Fay dan meminta maaf.
“Adrian sudah dewasa, tidak usah ikut campur ya, Pa."
°•°
Tok! Tok! Tok!
“Fay!”
“Fay, ini saya Adrian!”
“Saya minta maaf atas kejadian tadi.”
Adrian mengetuk pintu dengan keras, berteriak memanggil nama Fay berkali-kali. Tidak peduli tatapan-tatapan aneh yang timbul dari setiap netra yang memandang. Hari sudah malam, dan Adrian masih setia di depan pintu. Menunggu gadis yang sudah ia sakiti pulang dan mengajaknya bicara, mengajaknya kesal seperti biasa. Adrian merindukan itu. Adrian takut kehilangan, Fay.
Dan bodohnya, ia baru menyadari ketika Fay sudah tersakiti. Fay tidak lagi berada di rumah yang ia kontrak untuk tiga bulan ke depan. Keyakinan itu diperkuat dengan datangnya ibu paruh baya yang menemui Fay dan Adrian ketika pertama kali datang.
“Ibu lihat Fay?” Terlalu cemas, Adrian to the point. Tidak pandang pada siapa ia berbicara.
“Mas tidak tahu? Mbak Fay sudah keluar tadi siang.”
Kepala Adrian mendidih, antara sedih, jengkel dan frustasi menjadi satu. “Ibu tahu ke mana dia pergi?”
“Maaf, Mas. Mbak Fay tidak mengatakan apa pun selain menyerahkan kunci dan berkata kalau dia mau ke luar. Dia pergi dengan motor.”
Adrian berlari menuju mobil, menancap gas sekuat mungkin. Lelaki itu lelah menghadapi tingkah Fay yang menurutnya kekanakan dan anehnya, dia selalu memedulikan itu.
“Arghhh! Mau kamu apa sih, Fay?!”
“Selalu menyusahkan saya, selalu saja membuat saya bingung, marah, kesal, dan cinta.” Kalimat Adrian melemah di akhir kata.
Lelaki itu pulang dengan lemas. Sarah sudah menyambutnya di depan pintu.
“Dari mana?” tanya Sarah pura-pura tidak tahu.
“Rumah Fay.” Adrian Melenggang pergi menuju kamarnya. Ia akan kembali mencoba menghubungi Fay, gadis yang meresahkan.
Sarah berlari menuju kamar putrinya, dia mengetok keras. Diana keluar masih dengan earphone yang menempel di telinga. Gadis itu tampaknya sedang teleponan.
“Kenapa?” tanya Diana, gadis itu menggerakkan mulutnya tanpa suara.
“Coba matikan teleponnya dulu.”
Fay manut, ia berpamitan pada seseorang di seberang telepon. Kemudian mengajak Sarah masuk ke dalam.
“Tadi Adrian pergi dan dia pulang dengan lemas.”
“Adrian dari rumah, Fay? Bagus dong. Tapi kenapa pulangnya lemas?”
“Mama juga tidak tahu, Diana. Apa jangan-jangan Fay masih marah, atau bahkan, Fay—“
Diana menghentikan ucapan sang mama, menyuruhnya tenang dengan mengelus punggungnya. “Jangan terlalu dipikir, Ma. Mereka sudah sama-sama dewasa. Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri.”
“Mama istirahat, yuk!”
°•°
Fay sampai di rumah seseorang yang dituju, ia tersenyum manis pada Ayu. Kenapa Ayu? Karena saat Fay ingin pergi kebetulan Ayu menelepon. Ayu bertanya di mana Fay dan Fay menjawab ia entah akan pergi ke mana karena keluar dari kontrakan. Ayu menyarankan agar Fay tinggal bersamanya. Kebetulan Ayu hanya tinggal dengan asisten rumah tangganya. Ia merintis usaha di ibu kota, meninggalkan keluarganya di Surabaya.
“Taruh barang-barang kamu di sini.” Ayu membuka pintu kamar untuk Fay.
Mereka berdua duduk berhadapan. Fay memegang tangan Ayu. Ia berterima kasih sekali karena bantuan Ayu sangat membantunya.
“Terima kasih, Mbak.” Ayu mengangguk.
Fay merasa mempunyai kakak sekarang, seseorang yang mencintainya tulus. Seperti mamanya.
“Istirahatlah, sudah malam.”
Setelah Ayu keluar, Fay mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Banyak sekali panggilan dan pesan-pesan dari Adrian untuknya.
“Males banget.” Gadis itu beranjak ke kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi.
Fay bernapas lega, merebahkan diri di ranjang dan mulai memejam.
°•°
To be continued ....
![](https://img.wattpad.com/cover/288211292-288-k460901.jpg)
YOU ARE READING
Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)
RomanceKesakitan yang didapat dari kedua lelaki yang pernah dipanggilnya ayah juga kematian sang ibu dua tahun lalu, membuat Gilsha Faynara membenci seorang laki-laki. Pertemuannya dengan dokter muda melalui sebuah peristiwa membuat hatinya goyah. Dengan...