56. Dompet

18 7 0
                                    

Fanya menggeliat ketika ada sesuatu yang dingin menempel di pipinya. Pelan, dia mengerjap. Samar-samar melihat sosok rupawan di hadapan.

“Pak?" Fanya terperanjat. Lekas gadis itu duduk. Nyawanya yang belum terkumpul membuatnya masih lesu.

Dan pemandangan di depannya ini? Lelaki berjas yang sudah rapi tengah tersenyum ke arahnya. Kontras sekali dengan Fanya yang amburadul baru bangun.

“Jangan memandangi saya, bersihkan ilermu, tuh!” Erwin menunjuk sudut bibir Fanya. Gadis itu lekas saja menuruti perintah Erwin.

“Bapak kok udah di sini? Ngapain? Kok bisa masuk?”

“Sabar, ya. Tanyanya satu-satu.” Erwin terkekeh gemas.

“Saya menghampiri rumah Mbok Atun, minta kunci cadangan rumahmu dan masuk.”

“Kamar?”

Erwin tanggap. “Kamu lupa menguncinya.”

Mbok Atun merupakan orang kepercayaan Fanya yang rumahnya ada di ujung komplek. Paruh baya itu bekerja tiga hari saja dalam seminggu. Itu hanya untuk mengontrol kebersihan rumah Fanya.

Karena Fanya sudah sepenuhnya percaya pada Mbok Atun, dia menitip kunci cadangan padanya.

“Bapak pagi-pagi begini ngapain?”

“Kamu kemarin tidur jam berapa?”

Fanya risi. Dia mengobrol dengan lelaki yang sudah rapi. Berhadapan, otomatis berpandangan dan dia merasa tidak enak.

“Bapak keluar saja, gih. Saya mau mandi dulu!”

“Ya.”

Dua puluh menit, Fanya turun ke dapur. Menyiapkan roti dan tiga macam selai untuk sarapan.

“Silakan, Pak.”

Erwin mengangguk. Melahap roti yang disodorkan Fanya.

“Bapak kemarin ngirim pesan ke saya?”

Lelaki yang lahap memakan roti itu hanya mengangguk. Tangannya meraih teh yang ada di meja dan meneguknya.

“Ini maksudnya? Kita mau ngapain ketemu sama Angeline?”

“Asisten saya gagal mendapatkan bukti. Kita perlu bicara langsung dengan Angeline. Dia yang jadi tersangka. Jika dia tidak mengaku juga. Saya pastikan saya akan berbuat hal yang tidak wajar.”

Fanya melongo. Selain mendengar serentetan kata dari mulut irit bicara itu, dia juga memikirkan perkataan akhirnya.

“Hal ti-tidak wajar? Misalnya?”

“Kamu tidak perlu tahu.”

Mereka keluar bersamaan, karena masih terlalu pagi, mereka memutuskan untuk ke taman kejadian perkara itu.

“Benar di sini, Pak? Yakin?”

“Saya yakin. Ini tempatnya, Fanya. Coba kita cari tempat sepi yang dimaksud itu.”

Mereka bergandengan menelusuri titik demi titik wilayah taman.

“Apa di sini?”

Mereka berdua berhenti di tempat yang sepi ini. Di ujung taman, ada jalan yang sedikit menurun. Dan mungkin memang ini tempatnya.

“Andaikan di film horor ya, Pak. Pasti Mbah Ningsih menampakkan diri dan meneror warga. Atau bahkan dia memberi tahu siapa yang sudah membunuhnya.”

Kening Fanya disentil Erwin. “Jangan ngaco! Kita serius.”

Fanya kembali mengedarkan pandang. Di sini jauh lebih asri dan indah. Memang sepi karena ada di ujung. Tapi ada bunga-bunga yang tak kalah cantik.

Fanya mendekat pada bunga anggrek. “Pak, bolehkah jika saya memetik bunga ini?”

Erwin yang diajak bicara tidak menanggapi.

“Pak, Pak Erwin!”

“Kamu memanggil saya?” Erwin mendekat.  “Ini bunga apa?”

“Bunga anggrek. Boleh kali ya, kalau ambil satu. Lagi pula tempat ini sepi.”

Fanya menyengir. Dia mulai jongkok dan ketika pandangan matanya menurun. Gadis itu melihat sesuatu.

“Itu dompet, milik siapa?”

Fanya berbalik ketika Erwin menyisipkan bunga di telinganya.

“Kamu cantik.”

Fanya memutar bola mata malas.

“Boleh saya meminta sesuatu?” pinta Erwin, yang membuat Fanya lekas mengernyit heran.

“Jangan panggil saya, Bapak!”

Fanya menatap genit. “Kenapa? Merasa tua, ya?”

“Fanya, saya serius!”

Fanya abai, dia kembali melirik sebuah dompet yang tergeletak di tengah-tengah tanaman bunga Anggrek.

“Pak, kemarilah!”

Erwin mengernyit ketika tubuh Fanya masuk ke tanaman anggrek.

Gadis itu kembali menongolkan muka bingungnya, bergantian juga menatap dompet yang ada di genggaman tangannya.

“Itu dompet siapa?” tanya Erwin.

Fanya menggeleng, berujar tidak tahu. Erwin menyarankan untuk membuka saja. Biar tahu siapa pemiliknya lewat identitas yang mungkin ada di dalamnya.

Fanya duduk di fondasi yang digunakan untuk membatasi tanaman. “Ada KTP dan uangnya, Pak!”

Erwin mendekat, ikut melihat dan membaca identitas yang tertera di kartu tanda penduduk.

“Sutrisno,” eja Erwin. “Alamatnya, Fa?”

“Jalan Cendrawasih, nomor tujuh. Ayo kita ke sana. Pasti dia nyariin.”

“Bentar, ada yang aneh. Kamu pikir-pikir. Waktu kejadian Mbah Ningsih juga di sini sepi kan? Masa iya orang itu ngumpet di sana sendirian sampai dompetnya jatuh.”

“Ah, ini bisa jadi petunjuk untuk kasus ini, Pak!”

“Iya, simpan saja dulu. Ayo kita ke kampus tempat mengajar Angeline.”

°•°

To be continue ....

Marhaban Ya Ramadan, Readers!
Buat yang udah mulai puasa hari ini, semangat ya! Dan buat yang berhalangan, sabar ya! Emang haid di awal-awal bulan puasa itu lebih sakit ketimbang putus cinta. Ehekkk.

Mohon maaf lahir dan batin semuanya🙏

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Where stories live. Discover now