“Kamu pulang sama siapa? Di mana, Fay?” bisik Diana, gadis itu bertanya penuh keheranan melihat Adrian dengan gadis tertutup rapat.
Kekehan terdengar, gadis berpakaian tertutup itu mendekat pada Diana. “Mbak, tidak kenal aku?”
“Suara kamu nggak asing.”
Adrian sudah tidak tahan lagi, lelaki yang bersedekap dada itu menyahut, “ini Fay loh, Mbak.”
Diana terperangah, gadis 29 tahun itu menutup mulut saking kagetnya. Berdiri mengelilingi Fay, Diana bertepuk tangan dan memeluknya.
“Subhanallah, Fay, kamu.”
Diana tidak lagi bisa berkata, ia membiarkan Fay dan Adrian masuk beristirahat. Karena hari juga sudah sore, mereka harus mandi. Apalagi mereka baru saja pulang dari rumah sakit. Ya, setelah dari mal, Adrian memutuskan mengajak Fay ke rumah sakit. Semua orang di sana menatap penuh tanya pada Adrian yang hanya dibalas seulas senyum olehnya.
“Fay, salat Asar jangan lupa,” peringat Adrian ketika mereka sudah di depan kamar Fay. Gadis itu mengangguk, lekas masuk ke dalam tanpa berucap sepatah dua kata.
Adrian menatap heran pintu yang sudah tertutup rapat di depannya. Merasa aneh karena sikap Fay yang menjadi dingin. “Mungkin badmood.”
Di bawah, Diana dan Sarah tengah fokus membolak-balik buku yang berisi gambar gaun pengantin, dan beberapa keperluan-keperluan untuk pernikahan, seperti make up, desain ruangan dan lain-lain. Berhubungan dengan Diana yang merupakan seorang desainer, ternyata ia menolak membuat sendiri, tidak spesial katanya.
“Yang ini bagus, Ma.”
Diana menunjuk satu gaun pengantin berwarna putih gading, yang dipakai model gaunnya dengan riasan arabian look, hijabnya dibentuk menjadi model seperti gorden terbuka di kanan-kiri kepala si model. Sisa hijabnya digulung ke atas kepala dan ditambah satu hijab lagi untuk dijadikan model menyerupai rambut tergerai. Kemudian disisipkan satu hiasan di atas kepala yang mempercantiknya.
Sedangkan untuk desain gaunnya sendiri, sangat anggun untuk ukuran tubuh Diana yang tinggi semampai. Desain pada bagian dada menyerupai model hijabnya, terdapat bukaan kain di kedua pundak tetapi menggelambir ke bawah menutup dada.
“Iya, yang ini bagus, Mbak.”
“Coba aku ngomong ke Mas Fandy dulu, Ma.”
Diana membuka ponsel dan menelepon calon suaminya, gadis itu terlihat beberapa kali mengangguk merespon ucapan Fandy dari seberang. Kembali duduk di sisi Sarah, gadis itu tersenyum sumringah. “Mas Fandy bilang, terserah aku.”
Mereka kembali melanjutkan acara pemilihan itu. Acara pernikahan Fandy dan Diana akan dilaksanakan tiga hari kemudian, hanya ijab qabul terlebih dahulu, untuk resepsi akan dilaksanakan seminggu setelahnya.
“Nah, kalau gaun yang ini cocok untuk resepsi.”
Diana kembali menunjuk gaun berwarna merah muda dengan pernak-pernik berwarna emas. Terlihat sangat mewah dan cantik.
“Boleh, bagus juga.”
°•°
“Ini untuk Bapak.”
Erwin mengernyit, Fanya—sekretarisnya memberikan sebuah undangan padanya. Undangan pernikahan? Milik siapa? Perlahan, Erwin membukanya, kepalanya mengangguk melihat nama Diana dan Fandy yang tertera di sana.
“Nggak kaget, sih.”
Erwin melempar undangan itu ke sembarang arah, menumpukan tangan di atas meja dan meraup wajah frustasi. “Mantan udah nikah duluan, nggak boleh ketinggalan gue.”
YOU ARE READING
Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)
RomansaKesakitan yang didapat dari kedua lelaki yang pernah dipanggilnya ayah juga kematian sang ibu dua tahun lalu, membuat Gilsha Faynara membenci seorang laki-laki. Pertemuannya dengan dokter muda melalui sebuah peristiwa membuat hatinya goyah. Dengan...