“Nah, ini pengantin barunya.”
Pagi ini, seperti biasa semua sudah mengumpul di meja makan. Suasana sangat ramai karena keluarga besar tengah berkumpul bersama.
Fay dan Adrian menjadi bahan perbincangan semua keluarga. Mereka bahkan mesam-mesem melihatnya.
“Ini pada kenapa sih, kalau boleh tahu.”
“Halah, bro. Lo sok polos banget,” sahut Ridho. Gelak tawa juga berderai.
“Seger pasti, ya. Rambutnya basah gitu. Keramas, ‘kan?” Kali ini Farhan yang berbicara. Kakak Ridho yang terkenal dingin dan irit bicara.
“Ya, saya keramas, lah. Biasanya juga begitu.”
Adrian melirik Fay, muka gadis itu sudah memerah, menunduk dan mengaduk-aduk nasi goreng dengan sendok.
“Kamu kenapa mukanya merah, Sayang?”
Tawa kembali bersahutan. Fay hanya mengangkat bahu tak acuh. Suaminya benar-benar memalukan!
°•°
[Kamu awasi rumah Adrian, lihat gerak-gerik mereka. Dan laporkan ke saya!]
Seseorang membaca pesan itu kemudian mengangguk. Berdiri di depan gerbang kemudian melangkah ke samping rumah yang tidak dipagari.
Ia berada di taman rumah Adrian, melihat dengan jelas kegiatan orang-orang yang berbahagia di teras.
Melaporkannya pada sang bos, kemudian kembali mengangguk ketika pesan perintah kembali masuk.
“Fay, kamu sama Mbah pergi berdua, ya.”
“Loh, Mas Rian nggak ikut?”
Pasalnya, Fay keberatan jika harus berdua pergi keluar hanya dengan Mbah Ningsih. Keduanya tidak bisa berkomunikasi. Entahlah, wanita tua itu tiba-tiba ingin pergi meski sekadar berjalan-jalan ke depan komplek.
“Saya ada operasi darurat. Kamu baik-baik, ya.”
Adrian meraih kepala Fay, mengecupnya singkat kemudian berlalu.
“Pelan-pelan, Mbah.”
Tentu saja Mbah Ningsih tidak mendengarkan, wanita tua itu tidak mengetahui bahasa Indonesia sama sekali.
“Nduk, Mbah pengin maring taman cedak kene.”
Fay sigap menerjemahkan kata demi kata yang diucapkan Mbah Ningsih.
Fay menuntun Mbah Ningsih pelan-pelan. Taman memang tidak terlalu jauh. Lagi pula keinginan Mbah Ningsih juga jalan kaki sekalian olahraga pagi.
Ketika sudah sampai taman, Mbah Ningsih kehausan. Ia menyuruh Fay mencarikan minum. Sedangkan dia duduk di bangku taman.
“Fay tumbas rumiyin nggih, Mbah.” Kalimat kaku itu menjadi kalimat terakhir Fay sebelum gadis itu pergi mencari air minum.
“Tugas kamu cukup merekam aksi saya. Dari belakang supaya tidak terlalu jelas. Paham?”
“Siap, bos!”
Gadis berperawakan tinggi dengan gamis hijau tua persis seperti yang dikenakan Fay itu melangkah dengan pelan.
“Mbah, ayo!”
Mbah Ningsih yang penglihatannya kabur karena kelelahan berjalan itu menurut. Mengikuti langkah kaki seseorang yang dia anggap Fay.
Wajah tua Mbah Ningsih semakin mengeriput ketika ia dihentikan di tempat yang jauh dari keramaian.
YOU ARE READING
Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)
RomanceKesakitan yang didapat dari kedua lelaki yang pernah dipanggilnya ayah juga kematian sang ibu dua tahun lalu, membuat Gilsha Faynara membenci seorang laki-laki. Pertemuannya dengan dokter muda melalui sebuah peristiwa membuat hatinya goyah. Dengan...