37. Sebuah Rencana

30 8 0
                                    

Ting!

Erwin membuka pesan dari Angeline. Mereka sudah bertukar nomor untuk berkomunikasi dan berdiskusi tentang misi.

[Lihatlah, mereka sudah semakin dekat saja. Kita perlu melancarkan aksi dengan cepat pula.]

Isi pesan Angeline dengan sebuah foto. Erwin mematikan rokoknya. Lelaki yang memakai kaos itu menjentikkan jari di atas meja kerja.

[Kita susun mulai besok, minta bantuan Fanya juga.]

Balasan untuk Angeline terkirim.

°•°

[Fanya, besok langsung pergi ke restoran dekat kampus Cahaya Indah. Jangan berangkat ke kafe.]

Fanya mengernyit membaca pesan yang dikirim Erwin. Gadis itu baru bangun dan terkejut melihat pesan dari sang bos.

Apa aku dipecat? Mengapa tidak boleh lagi ke kafe. Begitu isi benaknya.

“Lebih baik aku siap-siap,” gumam Fanya ketika melirik jam yang berada pada angka enam lebih lima menit.

Sudah bersiap, Fanya dengan buru-buru keluar mencari taksi. Tidak ingin terlambat dan kena marah sang bos.

“Ke restoran yang dekat kampus Cahaya Indah. Tahu, Pak?”

“Tahu, Mbak.”

°•°

“Fanya mana sih? Belum datang juga. Aku bentar lagi ada kelas ini,” keluh Angeline, gadis muda yang berprofesi sebagai dosen itu berkali-kali melirik pergelangan tangan.

Langkah kaki terdengar dan napas terengah-engah. Fanya melotot melihat adanya Angeline di sana.

“Kamu di sini juga?”

Erwin menyahut, “ya, saya yang ajak. Duduklah!”

“Langsung saja, Fanya, bisa kamu membantu kami?”

Gadis yang masih terengah itu menautkan alis. “Membantu apa?”

“Saya ingat, kemarin adalah acara resepsi nikahan Diana. Tapi kebetulan saya dan Angeline tidak hadir karena lokasinya di Bandung. Sebagai tetangganya, apa kamu melihat tanda-tanda kehidupan dalam rumahnya?”

Berpikir sebentar, Fanya mengangguk kemudian. “Sepertinya belum.”

Fanya memang tidak hadir dalam resepsi. Gadis itu tidak berani mengambil risiko akan kelelahan ketika bekerja dengan Erwin nantinya.

“Memangnya apa yang Bapak dan Angeline lakukan?”

Angeline menyilangkan kaki dan bersedekap dada. Gadis itu mengangkat kaki acuh.

“Aku rasa, kamu tidak perlu tahu perihal ini. Biar aku dan Erwin saja. Kamu bisa tinggalkan kami sekarang. Terima kasih infonya, Fanya.”

Fanya bangkit berdiri dengan hati yang meremang takut. Bagaimanapun, Adrian adalah tetangga dan Fay adalah temannya.

“Apa ya yang direncanakan mereka.”

°•°

Kedua mobil sudah berjalan meski berbeda arah. Keluarga Adrian kembali ke Jakarta, sedangkan Mbah Ningsih dan keluarga Ridho kembali ke Solo.

Di mobil, hanya terdapat Adrian, Fay, Sarah dan Ardan. Fandy dan Diana memutuskan tetap tinggal di Bandung sekalian honeymoon.

“Adrian, harusnya kamu pulangnya agak siangan. Habiskan waktu dengan Fay di sini. Udaranya kan sejuk,” papar Sarah, sejak kemarin malam ia mengingatkan putranya. Tapi Adrian menolak begitu juga dengan Fay. Alasannya karena kerjaan masing-masing seperti biasa.

Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)Where stories live. Discover now