10.

82.1K 3.7K 541
                                    

Melihat wajah sendu Rain membuatnya merasa bersalah, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah termasuk dalam rencananya. Rayner sudah menyiapkan ini semua dari jauh hari. Memesan dress seragam berwarna merah muda, tapi punya Rain tentu lebih elegan dan berbeda.

Malam ini, ia akan melamar gadis itu. Gadis yang sudah tujuh tahun mengisi hatinya. Rayner merasa sudah mapan dan bisa membiayai segala kebutuhan Rain nantinya. Sudah siap membangun rumah tangga bersama gadis penyuka stroberi itu.

Gugup? Tentu saja. Apalagi setelah melihat Rain memasuki ballroom dengan mulutnya yang tidak berhenti bergerak. Cantik. Satu kata itu langsung terlintas saat melihat Rain malam ini.

Dan sekarang ia berdiri di atas panggung, menatap Rain yang menampilkan raut bingung. Matanya menyorotkan tatapan tanya kepadanya.

"Ini acara kita. Mau pink party nih."

"Kamu mau ngajak aku pacaran?"

Rayner tertawa geli. Padahal ia sudah pernah bilang kalau tidak ingin berpacaran lagi dengan gadis itu, tetapi dengan hubungan yang lebih serius.

"Pacaran? Ngga. Aku mau ngajak kamu nikah."

Ruangan ini penuh dengan sorakan. Suara Faro lebih mendominasi.

"Ngajak nikah apa ngajak beli permen sih, Ray?!" tanya Faro tidak habis pikir.

Sebagai seseorang yang menjadi guru Rayner dalam hal percintaan, Faro tentu saja malu. Tidak tahu saja laki-laki itu kalau tujuh tahun lalu, cara Rayner menjadikan Rain kekasihnya seperti itu.

"Sshh." Rayner meletakkan telunjuknya di depan bibir dan semuanya langsung diam.

"Maafin aku dari kemaren diemin kamu terus ya, Rain?" Rayner memperhatikan Rain yang masih terdiam. "Kita udah sejauh ini dan aku ga pengen lagi pacaran sama kamu. Maunya kamu jadi orang yang pertama kali aku liat setiap aku bangun tidur. Aku udah izin sama Papa kamu, izin buat jadiin kamu istri aku."

Rain mengipasi wajahnya yang terasa panas. Ia menoleh ke arah Awan yang mengangguk dengan senyum.

"Jadi, Rainy Abigail, di tanggal yang sama aku nembak kamu tujuh tahun lalu, sekarang hari Senin, tanggal tiga puluh satu bulan ke delapan tahun kesekian," Rayner melirik jam tangannya sekilas. "Jam sembilan lewat tiga menit, Rayner Dexalion meminta Rain untuk jadi istrinya. Will you, Rain?"

Jantung Rayner berdetak sangat keras sekarang. Ia meremas mikrofon yang dipegangnya, karena tidak kunjung mendapat jawaban dari gadis yang masih diam di sana.

Tidak jauh beda dengan Rayner, Rain pun merasa jantungnya sudah akan keluar dan menari-nari di depannya. Ia tidak pernah menyangka akan secepat ini Rayner melamarnya.

Teriakan 'Say yes!' menjadi backsound keterdiaman Rain. Kemudian ia menerima mikrofon dari Xabiru dan meremasnya.

"Tapi," satu kata yang keluar dari mulut Rain itu membuat semua orang terdiam. Rayner sudah pucat di tempatnya. "Kata Bunda, aku mau dijodohin." katanya polos.

Semua mata langsung tertuju pada Hera yang sudah siap membejek anaknya. Ia memelototi Rain yang menatapnya dengan mata berkedip sok polos.

"Kata Bunda, Rayner aja ga jelas mau seriusin kamu apa ngga. Gitu masa."

Rain hampir tertawa saat melihat wajah Rayner sudah seputih kertas. Kasihan.

"Rainy Abigail!" seru Hera. "Kamu ini gatau yang namanya bercanda apa gimana sih?" Hera sudah akan melempar gumpalan tisu ke arah Rain, tapi Rain buru-buru menyela.

"Ah! Iya-iya! Rain bercanda juga! Makanya jangan bercandain Rain!" Rain dengan segala tingkahnya benar-benar menyebalkan.

Kembali lagi menatap Rayner yang masih diam tidak tahu harus berbuat apa. Ia tersenyum senang.

"There's no reason for me to say no, Rayner."

Helaan napas lega adalah hal yang pertama kali Rayner lakukan. "Jadi mau?"

Rain mengangguk malu. "Iya, mau."

Setelah itu Rain dituntun menaiki panggung dan Kara menghampiri keduanya dengan sekotak cincin di tangannya. Mikrofon keduanya diambil alih oleh seseorang. Kemudian mereka saling memasangkan cincin. Kara sempat memberikan kecupan di pipi Rain yang masih merona sebelum turun.

"Hi, Fiance."

"Diem." kata Rain tertahan yang sudah tidak bisa menahan debarannya.

Rayner menarik kepala Rain dan mengecup keningnya di depan semua orang. Perutnya seperti terisi miliaran kupu-kupu tepat setelah bibir Rayner mendarat di keningnya.

"Soon will be Mrs. Dexalion."

Rain tidak kuat lagi. Ia sungguhan lelah setelah pulang kantor tadi dan acara yang mendadak ini membuatnya berkali lipat lebih lelah. Namun, Rain tetap merasa bahagia.

Gadis itu pulang diantar oleh Rayner. Sesampainya di mobil, Rain langsung melepas heels-nya dan mendesah lega. Matanya lama-lama terpejam.

Rayner memperhatikan dengan raut bersalah. "Kayaknya aku salah milih hari ya? Sorry, kamu ampe capek banget gini." katanya lalu memasangkan seatbelt untuk Rain.

"Capek banget, iya. Tapi aku seneng banget juga. Makasih, Ray. Aku pikir kamu marah gara-gara aku ga manjain kamu kemaren."

Rayner mengusap kepala Rain, ia mendekat dan mendaratkan bibirnya di kening Rain untuk kesekian kalinya pada hari ini. Kemudian tangannya mencubit pipi gadis itu.

"Ga lah. masa gara-gara itu aja marah. Ya, agak kesel sih, tapi aku ngerti." katanya kemudian mengendarai mobilnya menuju apartemen Rain.

"Thanks." lirih Rain.

Lama terdiam dengan mata terpejam, Rain menghela napas berat. Rayner menoleh sekilas dan menemukan adanya kegelisahan di wajah lelah gadisnya.

"Tell me. Everything." kata Rayner. Tangan kirinya membawa tangan kanan Rain dalam genggaman.

"Rayner, aku minta maaf." kalimat pembuka itu membuat dahi Rayner mengernyit. "Sebenernya aku belum siap buat nikah." Rain melipat bibirnya menunggu respon Rayner.

Hanya elusan lembut di punggung tangannya yang Rayner berikan. Tatapan laki-laki itu tetap fokus menghadap ke depan.

"Maaf. Aku takut kalo aku nolak, kamu kecewa dan, pergi. Aku takut kamu ga bakal buat kayak gitu lagi buat aku. Aku merasa aku belum pantes jadi istri kamu. And i think, we're too young to get married."

Mobil Rayner berhenti di parkiran apartemen Rain. Kemudian laki-laki itu menoleh dengan senyum lembut di wajahnya. Ia membawa tangan Rain ke depan bibirnya lalu mengecupnya.

"Aku ngerti. Kalopun kamu tadi nolak, aku bakal coba lagi sampe kamu siap, Rain. Aku gaakan pergi gitu aja. Kita juga gaakan nikah dalem waktu deket kok. Yang penting sekarang, hubungan kita udah jelas. Kamu calon istri aku." Rain menatap Rayner dengan binaran yang sama.

"Aku ngerti kamu masih mau bebas. Masih butuh waktu buat nyiapin diri. So, take your time." Rayner tersenyum. "Gausah buru-buru. Kita jalanin aja dulu oke? Sama-sama saling mantesin diri buat satu sama lain."

Mata keduanya masih beradu tatap sampai Rain menurunkan tatapannya pada cincin yang terpasang pada jari manis Rayner. "Kalo aku kelamaan gimana? Kelamaan mikir, kelamaan nyiapin diri."

"Aku bakal bantu kamu, Rain. Aku bantu kamu siap, aku bantu kamu buat yakin. Kita bakal bareng-bareng ngejalanin ini. Aku gabakal biarin kamu sendiri."

Hati Rain menghangat. Rayner selalu mengerti dirinya. Ia melepas seatbelt lalu memeluk laki-laki pemilik hatinya itu dengan erat. Menenggelamkan wajahnya di bahu Rayner dan menghirup wanginya.

"Don't leave me."

"I won't." Rayner mengusak rambut gadis itu lalu menjauhkan tubuhnya. "Nah sekarang kamu harus masuk dan tidur, karena besok masih harus kerja."

Rain tersenyum. Ia memakai kembali heels-nya dan meraih tasnya. Mencium pipi Rayner sekilas lalu melambaikan tangannya.

"See you."

mungkin gaa rayner bakalan capek nunggu Rain?

yang mau semangatinn disini okeyyy

semoga ini ga mengecewakann yaa

RaynerainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang