Setelah menempuh tiga hari perjalanan, masuk keluar hutan, menuruni lembah, dan menaiki gunung. Keumala tiba di sebuah tempat yang yang menyerupai sebuah perkampungan. Keumala tiba pada malam hari jadi tidak melihat seorang pun. Dia langsung diajak beristirahat di suatu rumah kayu, yang sepertinya menjadi rumah bagi perempuan yang sebelumnya menolong dia.
"Kamu tidur dulu bersamaku hari ini," ucap perempuan itu. "Besok baru kamu akan diajak keliling kampung dan ditempat di tempat yang sesuai denganmu."
"Sekarang tidurlah," perintah perempuan itu.
Meskipun sudah memejamkan mata Keumala tetap tidak bisa tidur. Kejadian yang menimpa dia dan ibunya beberapa hari yang lalu masih terpatri jelas dalam pikirannya. Hampir setiap malam selama berjalan ke tempat ini, Keumala baru bisa tidur ketika mendekati dini hari, itupun selalu terbangun akibat mimpi buruk.
Keumala bergerak ke kiri dan kanan, membuat suara berdecit di dipan. Dia bergerak amat perlahan takut membangunkan perempuan yang tertidur di sebelahnya. Keumala memandang ke arah langit-langit memperhatikan jemari yang menjadi atap dari rumah ini.
Malam yang tenang, membuat suara binatang-binatang malam terdengar begitu jelas. Keumala baru bisa tertidur lelap, ketika suara-suara binatang ini tidak terdengar lagi.
"Nak, bangun nak," ucap perempuan itu.
Keumala mengusap matanya, mengenyirtkan mata, karena terangnya cahaya matahari yang menembus masuk ke dalam rumah. Ternyata Keumala tidur cukup lama sampai matahari sudah berada tepat di atasnya. Langit yang hanya ditutupi oleh jerami, membuatnya panas ketika siang hari.
Keumala melihat ke arah luar, ketika mendengar suara ribut-ribut dari banyak orang. Wajahnya tampak heran, yang membuat perempuan itu mendekat, untuk menjelaskan kebingungan yang ada di benak Keumala.
"Itu suara anak-anak yang sedang berlatih," ucap perempuan itu.
'Anak-anak? Berarti disini banyak anak-anak lain selain dirinya,' pikir Keumala.
"Ayo kita melihat sekeliling," ajak perempuan itu.
Keumala yang sedari tadi penasaran mengikuti perempuan itu tanpa mengucap sepatah katapun. Diluar rumah, ternyata terdapat ribuan perempuan yang sedang berlatih bela diri dan di sisi lain ada pula yang berlatih menggunakan senapan. Anehnya seluruh area perkampungan ini hanya berisikan perempuan dari yang berusia 3-17 tahun. Sementara perempuan dewasa hanya ada beberapa orang, termasuk perempuan yang berdiri di sampingnya.
Keumala melihat sekeliling dan dia baru menyadari bahwa area ini lebih tepat disebut sebuah benteng dibandingkan perkampungan. Ternyata ketika sampai, kemarin malam, dia tidak begitu memperhatikan pagar kayu runcing yang mengelilingi seluruh area.
Demi melihat kebingungan yang ada di wajah Keumala, perempuan itu tersenyum. Dia menunduk dan merangkul pundak Keumala.
"Selamat datang di benteng Inong Bale," ucap perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Historical FictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...