Sore itu suasana makin mencekam. Angin laut membawa bau yang bercampur dengan amis darah dari para korban yang gugur. Meskipun begitu, kedua pasukan tak mau berhenti. Pasukan Belanda ingin segera merebut istana sultan, sedangkan Pasukan Aceh ingin membalas perbuatan mereka yang membakar masjid raya. Dua tujuan yang berbeda, tetapi keduanya percaya tujuan merekalah yang paling benar.
"Mereka kembali," ucap tentara Belanda yang melihat pasukan Aceh dari jarak beberapa kilometer.
"Kita harus bersiap," perintah Jenderal Kohler.
Tentara Belanda segera menuruti perintah Jenderalnya. Tak ada satupun yang berdiam diri melihat banyaknya pasukan Aceh yang bergerak mendekati mereka. Mereka pikir, mereka akan aman ketika berhasil merebut masjid sekaligus pusat komando pasukan Aceh, tetapi mereka justru berhadapan dengan sesuatu yang lebih besar.
Pasukan Aceh berjumlah lebih banyak dari sebelumnya. Bukan karena secara mendadak jumlah mereka bertambah banyak atau mereka dapat bantuan dari negeri sekitar, tetapi orang-orang yang bergabung menjadi semakin banyak. Kali ini bukan hanya kaum pria saja yang turun ke medan perang, tetapi ibu-ibu bahkan orang yang sudah tua pun ikut turun.
Ibu-ibu dan orang tua itu sadar tak banyak yang bisa mereka lakukan, tetapi jika hanya menjadi martir dan tameng dari peluru-peluru Belanda, mereka yakin mereka bisa. Puluhan ribu pasukan Aceh bergerak semakin mendekat, membuat pasukan Belanda yang hanya berjumlah 3.000 orang merasa sangat kerdil.
Suara gemuruh terdengar bersama dengan langkah kaki yang semakin mendekat. Pasukan Aceh meneriakkan solawat dan takbir berkali-kali membuat nyiut nyali pasukan Belanda.
"Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!!" teriakan pasukan Aceh berulang-ulang ketika mendekati pasukan Belanda.
Pasukan Belanda yang mendengar teriakan itu menjadi ragu. Suaranya terdengar jelas dari berbagai penjuru.
"Jenderal jumlah mereka banyak sekali," ucap salah seorang tentara Belanda.
"Kita pasti menang, senjata kita jauh lebih canggih dibanding mereka," jawab Jenderal Kohler menangkan anak buahnya.
"Tapi jenderal mereka puluhan kali lipat dibanding kita," ucap salah seorang tentara Belanda lain yang tak kalah takutnya.
"Wees geen lafaard (Jangan jadi pengecut) !!!" bentak Jenderal Kohler. "Kalian lihat mereka, perempuan saja ikut berperang. Apa kalian lebih lemah dari monyet-monyet betina itu?"
Mendengar ucapan Jenderal Kohler, para pasukan Belanda tertunduk diam. Sementara itu pasukan Aceh semakin bergerak mendekat.
Hari telah hampir usai, tetapi peperangan di tanah Aceh jauh dari selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Ficción históricaCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...