Meskipun kalah, tetapi kali ini berbeda. Tentara Belanda tak begitu saja menyerah dan kembali ke Batavia, tetapi tetap bertahan dan bersembunyi di pesisir Timur Aceh, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang kembali. Jenderal van Swieten yang mampu bertahan pada akhir perang sebelumnya, masih berharap kolera terus menyebar dan akhirnya melumpuhkan kekuatan pasukan Aceh.
Kapal-kapal Belanda yang seharusnya sampai dari dua hari yang lalu masih juga belum tiba. Mereka terhambat oleh topan yang menyebabkan angin dan gelombang yang tinggi di Utara Sumatera. Tak adanya komunikasi antara dua tentara yang terpisah ini, membuat mereka harap-harap cemas, apalagi meriam-meriam mereka telah direbut oleh pasukan Aceh.
Bulan Desember memang menjadi mimpi buruk bagi tentara mana saja yang ingin berperang, apalagi yang melewati jalur laut. Hujan, gelombang yang tinggi, dan angin yang kencang dapat melumpukan mereka sebelum berhadapan dengan pasukan lawan.
"Jenderal, mereka bisa memanfaatkan meriam-meriam kita. Kita sudah kalah jenderal," ucap salah seorang perwira kepada Jenderal van Swieten ketika mereka telah aman dari kejaran para pasukan Aceh.
Jenderal terdiam sejenak. Perkataan perwiranya benar, mereka telah kalah, dan tak bisa melanjutkan penyerangan. Meskipun banyak dari mereka yang selamat, tapi tanpa senjata-senjata itu, mereka seperti manusia lumpuh, yang tak bisa berbuat banyak.
"Apa kalian tak malu dengan sumpah kalian pada Ratu?" teriak sang Jenderal.
Demi mendengar itu para perwira tak ada yang berani memandang wajah sang Jenderal. Mereka menundukkan kepaala, mendengar dengan seksama ucapan Jenderalnya, seolah setiap ucapan dari Jenderal adalah firman yang harus didengarkan. Tak ada yang berani bersuara, apalagi membantah. Mereka tahu mereka tak akan bisa pulang, bahkan mereka bisa mati disini, demi memuaskan cita-cita sang Jenderal.
"Apa kalian tak malu dengan sumpah kalian pada Ratu?" teriak sang Jenderal dengan suara lebih keras, tetapi masih tak ada yang berani menjawab.
"Kalian sudah bersumpah akan memberikan jiwa dan raga kalian untuk kesejahteraan negeri Belanda, apakah kalian lupa akan janji kalian itu?"
Berkali-kali jenderal mengingatkan sumpah tentaranya, meskipun justru banyak dari tentara Belanda yang bukan orang Belanda, bahkan belum pernah menginjakkan kakinya di negeri tempat Ratu berada. Mereka banyak berasal dari Jawa, Ambon, dan Afrika, hanya sebagian kecil yang berasal dari Belanda menjadi perwira.
"Kita masih punya dua kartu as," tambah Jenderal ketika tak ada yang menjawab ucapannya. "Jika kapal kita telah sampai atau wabah kolera telah menyebar seluruhnya di Kutaraja, kita bisa dengan mudah membalikkan keadaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Ficción históricaCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...