Pasukan Aceh dibagi dalam grup-grup kecil yang menyebar di seluruh benteng, tidak lagi bergerak dalam jumlah besar. Setiap pasukan terdiri dari 200 orang pemegang kelewang dan beberapa orang penembak jitu. Sedangkan pasukan meriam tetap berada di garis belakang di balik bukit, untuk mendapatkan jangkauan tembakan yang lebih jauh.
Keumala dan Dhuha berada di grup yang sama, terpisah dari teman-temannya yang lain yang tergabung dalam grup yang berbeda-beda. Mereka ditempatkan di ujung utara, dekat dengan pantai, menjadi daerah terjauh dari titik tempat meriam berada dan pusat komando penyerangan.
"Hi, Keuamala!" tegur seseorang laki-laki.
Keumala yang kaget, mencari arah datangnya suara. Dia menengok ke kiri dan ke kanan, tetapi tak ada orang, sebelum akhirnya Dhuha menunjukkan bahwa orang itu ada tepat di belakang Keumala.
"Siapa kamu?" tanya Keumala yang lupa dengan sosok laki-laki di hadapannya.
Laki-laki itu menggeleng sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Tak terpikir olehnya bahwa Keumala akan melupakan dirinya setelah pertemuan memalukan itu.
"Aku Agam," jawab Agam tegas. "Kita pernah bertemu sebelumnya, di saat Imam Leung Bata menyampaikan nasihatnya. Kamu waktu itu marah dan memakiku."
Kali ini Agam terlihat lebih percaya diri, tidak seperti sebelumnya. Peperangan ini membuat Agam berubah banyak.
Keumala menerawang sedikit, mencoba mengingat-ngingat kejadian itu, tetapi dia tetap tak ingat. Banyaknya kejadian yang laur biasa beberapa bulan ini, membuat Keumala melupakan beberapa hal yang menurutnya tak penting. Sementara itu, Dhuha yang berada di sebelahnya berusaha menahan tawa, melihat kejadian itu.
"Aku benar-benar lupa, maaf," ucap Keumala. "Lalu dari mana kamu tahu namaku?"
"Tak ada yang tak tahu namamu Keumala," jawab Agam.
Keumala memandang wajah Agam dengan heran, 'Bagaimana bisa tak ada yang tak tahu namaku? Berarti semua orang tahu? Memangnya siapa pula aku' pikir Keumala.
Tetapi yang diucapkan Agam benar adanya. Keumala yang tinggi dan cantik, membuat dia lebih terlihat dibandingkan teman-temannya yang lain. Selain itu, kemampuannya menembak, mampu menumbangkan musuh dan menyelamatkan pasukan Aceh yang lain, membuat banyak laki-laki berhutang budi padanya. Dia seperti Arjuna, tapi dalam wujud seorang perempuan, perempuan yang cantik.
"Tak apa, semua orang mengenalmu sebagai seseorang yang baik," tambah Agam, karena melihat Keumala kebingungan. "Apa kau juga di tempatkan di grup ini?"
Keumala mengangguk.
"Baiklah, jaga dirimu baik-baik ya. Aku juga akan menjaga dirimu," ucap Agam sambil berlalu pergi menjauh darinya.
'Menjaga diriku? Apa maksudnya?' pikir Keumala heran.
"Cieeeee, yang mau dijagain," ledek Dhuha.
"Apasih, aku kan bisa menjaga diriku sendiri. Buat apa dia menjagaku?"
"Kau ini bodoh ya," ucap Dhuha kesal. "Itu artinya dia ada perasaan denganmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Historical FictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...