Keumala terjatuh pingsan, tak lama setelah Frans menggendongnya. Dia tak kuat menahan sakit dari peluru yang bersarang di kakinya. Tanpa dia sadari sekarang dia bukannya berada di markas tentara Belanda, melainkan di sebuah gubuk tua yang sepertinya telah lama di tinggal oleh penghuninya. Sementara itu, Frans berdiri menghadap keluar gubuk, tak jauh dari tempat Keuamala merebahkan badannya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Keumala dalam bahasa Melayu. "Kenapa kau membawaku kesini?"
Keumala berusaha menggerakkan badannya, tetapi dia tak sanggup. Dia melihat kakinya yang terkena tembakan sebelumnya sudah dibalut oleh sebuah kain.
"Aku tak akan membawamu ke markas," ucap Frans yang seolah tahu apa yang ada dipikiran Keumala. "Kau akan disiksa disana, demi mendapatkan informasi tentang Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, meskipun kau tak tahu. Kau akan terus disiksa, ditanya pertanyaan, yang kau sendiri tak tahu jawabannya."
"Lalu kenapa kau tak membunuhku saja?" tanya Keumala gemas. "Bukankah itu menjadi lebih mudah bagi kita berdua, aku bisa langsung sahid ke surga dan kau tak perlu repot-repot membawaku kesini."
Frans tak menjawab. Dia hanya menatap heran pada Keumala.
'Bagaimana mungkin kematian menjadi lebih mudah?' tanya Frans dalam hati. 'Bukankah akan ada orang-orang yang merasa sedih, karena kehilangan? Dan dari mana juga dia bisa seyakin itu kah dia akan masuk surga?'
"Lalu apa yang kau inginkan?" tanya Keumala heran.
Frans pun tak menjawab dan berjalan ke arah luar, meninggalkan Keumala sendirian di dalam gubuk itu. Di luar, Frans mengeluarkan sebuah kotak kecil yang berisikan cerutu. Di dalam kotak itu terdapat dua cerutu yang tersisa.
Cerutu itu di dapatkan dari pamannya sebelum dia berangkat ke Hindia. Dia tahu ini cerutu mahal, makanya dia sengaja menyimpannya, untuk menghisapnya di saat-saat yang benar-benar diperlukan. Kotak itu awalnya berisikan empat cerutu. Satu telah dia gunakan saat melewati hari-hari berat saat pelatihan menjadi tentara. Satu dia gunakan ketika berlayar menuju Hindia.
Dia berencana menghisap dua cerutu sisanya itu nanti, satu dia siapkan, ketika dia dihadapkan pada satu kebingungan dan satu lagi untuk perjalanan pulang ke Belanda. Dia tak menyangka dia akan mengalami kebingungan secepat ini. Bingung membedakan mana yang salah mana yang benar, serta apakah yang dilakukannya benar-benar berguna. Melihat mayat-mayat orang Aceh yang bergelimpangan akibat perang ini, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak, tentunya memberikan keraguan pada dirinya.
Frans menikmati momen dengan cerutu itu. Dia menghirupnya perlahan dan juga menghembuskannya perlahan, berusaha mempertahankan selama mungkin cerutu ini habis. Cerutu yang didapatnya dari Belanda itu, anehnya bahan bakunya berasal tak jauh dari sini, dari Deli, yang terletak di Selatan Aceh.
Begitu cerutunya habis, dia kembali ke dalam, berbicara dengan Keumala, sambil berharap dapat meredakan kebinungannya dan membuat jelas jalannya. Dia duduk tepat di samping Keumala merebahkan badan. Melihat hal itu, Keumala berusaha untuk duduk, tetapi seluruh badannya tak berdaya, Keumala merasa tekanan dan kelelahan yang luar biasa pada tubuh mungilnya.
"Tak perlu duduk, kau tidur saja," ucap Frans sambil menarik bangku di sebelahnya.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Keumala lagi, tetapi kali ini dengan nada yang lebih lembut, tak semarah sebelumnya.
"Apa alasan kalianuntuk terus berjuang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Fiction HistoriqueCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...