Hari itu berjalan seperti hari-hari sebelumnya, meskipun penghuni benteng telah kehilangan separuhnya. Makan-makan yang biasa disediakan, selalu tersisa, karena benteng ini masih belum terbiasa dengan sedikitnya penghuni benteng. Senjata-senjata yang ada pun akhirnya banyak yang tak terpakai, tergeletak begitu saja tanpa ada yang menggunakannya.
Keumala tetap berlatih seperti biasa, berlatih menembak, mengasah kemampuan bidikannya agar kelak bisa mengenai musuh-musuhnya dengan mudah. Tak ada satupun yang mengganggu ketenangan Keumala, seolah kejadian-kejadian belakang ini tak membawa dampak apapun baginya.
Dhuha kali ini membawa senapannya sendiri dan ikut berlatih bersama Keumala, bukan hanya berdiri di sampingnya dan mengoceh saja. Dhuha meniru posisi Keumala yang berbaring di atas tanah dan memfokuskan pandangannya pada bidikan yang terletak di ujung senapan. Burung-burung berterbangan dan rusa yang berlarian tak mengganggu konsentrasi mereka berdua yang telah tenggelam ke dalam bidikan mereka masing-masing.
Baru ketika ada keramaian dari arah benteng, konsentrasi mereka berdua buyar. Mereka segera berdiri membawa senapan-senapan mereka dan berlari secepatnya ke arah benteng, melihat apa yang sedang terjadi di sana.
Di benteng, para Uleebalang dari segala penjuru berkumpul. Umar, suami dari Dien, yang merupakan salah satu Panglima Sagi sebetulnya dihormati oleh Uleebalang/tetua Aceh, tetapi isu tentang kedekatan dia dengan Belanda membuat para Uleebalang ini memandang umar dengan amarah.
"Untuk apa kau mengumpulkan kami disini, Umar?" ucap salah seorang Uleebalang. "Tak cukup kah kepercayaan kami kau hancurkan dengan bersekutu bersama kaphe-kaphe Belanda?"
"Biarkan aku menjelaskan, silahkan kita masuk ke dalam," jawab Umar.
"Tak perlu, tak ada yang perlu dijelaskan lagi," jawab Uleebalang lain.
"Ya, ya, tak perlu ada yang dijelaskan," sahut Uleebalang lainnya.
"Tenanglah, dengarkan dulu penjelasan Umar," ucap Uleebalang tertua menenangkan. "Lagi pula tak ada yang percuma dengan mendengarkannya."
Mendengar ucapan Uleebalang tertua, Uleebalang lainnya pun terdiam, setuju mengikuti Umar masuk ke sebuah ruangan untuk mendegar penjelasannya. Ruangan itu adalah ruang tempat berkumpul para anak-anak Dien yang disulap menjadi sebuah ruang pertemuan, karena anak-anak itu pergi setelah mendengar isu Dien yang bekerja sama dengan Belanda.
Kuemala dan Dhuha yang baru sampai dari hutan berdiri di luar ruangan bersama dengan anak-anak lainnya. Pembicaraan di dalam hanya berisikan para tetua, panglima sagi, dan Uleebalang saja, jadi anak-anak seperti mereka tak diizinkan untuk ikut.
"Benteng ini terlihat lebih sepi, Dien," ucap seorang Uleebalang berbasa-basi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut : Perang Dalam Dendam
Historical FictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, berlatar belakang perang Aceh tahun 1873 - 1913. Namaku adalah Cut Keumala. Kehilangan ayah dan ibuku, sebagai pejuang perang Aceh membuat diriku memiliki dendam yang dalam kepada orang-orang Belanda. Tanpa ayah da...